Quantcast
Channel: Komunitas Kretek
Viewing all 2293 articles
Browse latest View live

Hikayat Seorang Pekerja Tembakau Bugis

$
0
0

La Heddang (60) memandangi rumah panggungnya di desa Soga, Soppeng. Sapuan warna hijau dinding rumahnya sejenak menyejukkan matanya. Ia sedang dipenuhi khawatir karena sekian hari ini ia tak memproduksi Rokok Bugis.

Biasanya, dalam sebulan di kolong rumah panggung ini, ia mengolah tembakau kering, meracik saus gula merah, mencampur adonan saus ke rajangan daun tembakau, memasukkannya ke dalam timpo atau bambu dan membakar campuran tersebut dalam oven khusus. Kali ini, ia tak memiliki cukup uang membiayai ongkos produksinya. Khawatir pelanggan-pelanggan setianya tak memeroleh pasokan ico—Rokok Bugis—darinya, ia pun memilih keluar desa.

Sudah bulat niatnya. Ia akan ke Makassar menemui Haji Saide, seorang pengusaha Rokok Bugis ternama dari Soppeng yang nyaris tak dikenal lagi oleh generasi muda sekarang. Heddang ingin bekerja beberapa minggu atau bulan di pabrik tembakaunya di jalan Tinumbu, Makassar. Bagi Heddang, tak ada pilihan lain selain bekerja. Kini amat sulit mencari pinjaman uang kepada pihak lain. Awal Mei 2011 lalu, ia datang ke kantor desa dan memohon sedikit modal dari kas desa. Tapi, sayang sekali, kepala desa Soga belum bisa memenuhinya. Ia lalu pulang dengan tangan hampa.

Heddang menyalami istrinya. Sebuah keberangkatan yang sunyi.

Jalan dusun Tonronge yang ia telusuri sudah jauh berbeda. Empat dekade lalu, desanya marak tanaman tembakau. Orang-orang desa menanam, merawat, memetik, merajang dan menjemur tembakau Bugis. Anak-anak hingga orang tua menjadi bagian dari budaya tembakau dan hidup dari perputaran ekonomi tembakau. Kini mereka adalah petani kakao dan hidup dalam budaya kakao. Salah satu perbedaan mencolok adalah tiadanya budaya situlung-tulung antar keluarga dan rumah tangga di desa ini. Jelas, budaya kakao adalah individualis dan budaya tembakau adalah komunal. Kakao itu komoditas ekspor sementara tembakau Bugis itu komoditas lokal bangsa.

Ingatan Heddang bergerak maju ke masa lalu. Masa 30 tahun lampau di dusun ini.

Heddang, sebagaimana umumnya orang Soga saat itu juga menanam tembakau. Ia membeli bibit kemudian menanamnya di lahan khusus yang telah digemburkan bersama-sama dengan kawan-kawan petaninya. Dengan lahan seluas satu hektar, mereka menanam 10.000 bibit selama dua – tiga hari. Lalu, mereka menutupi tanaman itu dengan berlembar-lembar daun enau selama 14 hari. Guna menghindari hama kalanrei yang dibawa oleh semut ia akan menyemprot tanaman itu dengan pestisida. Harga perbotolnya adalah Rp. 2.500 rupiah dan setidaknya butuh 4 botol untuk persekali semprot.

Setelah tumbuh pucuk daun kedua, ia akan memotong (iceleppiri) daun pertama dan membiarkan daun kedua melebar. Demikian pula pucuk-pucuk baru di dekat daun ia akan memotongnya hingga akhirnya terdapat delapan lembar daun dalam satu tanaman yang dijaga pertumbuhannya. Jika tanamannya sudah mencapai ketinggian 75 sampai 100 cm, ia menyemprotnya lagi setiap minggu selama dua bulan hingga daun tembakau siap petik.

Dalam pemetikan daun, istrinyalah dan ibu-ibu lain tetangganya yang memetik daun tembakau. Mereka lalu akan menyimpannya selama 4 hari untuk kemudian merajangnya, menjemurnya, dan menggulungnya. Setelah itu, lahan akan ditanami tanaman sela, umumnya jagung sebagai makanan pokok petani atau membiarkan lahan istirahat tanpa penanaman.

Keseluruhan pekerjaan itu dilakukan secara bersama-sama. Mereka menyebutnya situlung-tulung. Yang bertugas merajang daun tembakau (makkire’ ico) dengan menggunakan pisau khusus dan kattang (tempat perajangan setumpukan daun tembakau) adalah lelaki dewasa. Sementara yang menebar rajangan tembakau (ma’tale’ ico) di alas penjemuran (tabba atau jamba’) berukuran 80 cm kali 120 cm adalah kaum perempuan. Setelah rajangan tembakau siap dijemur, segera anak-anak mereka akan meraihnya dan membawanya ke luar kemudian menjemurnya di sepanjang jalan di depan rumah mereka.

Setelah dua hari terpanggang matahari, rajangan tembakau tadi akan kering dan anak-anak atau kalangan remaja akan menggulung daun-daun tembakau ini dari kedua sisi. Gulungan dari sisi kiri dan kanan bertemu tepat di bagian tengah gulungan. Gulungan ico dari setiap ta’ba’ akan ditumpuk (epesilonjo) hingga beberapa tumpukan. Inilah akhir kerja petani dan pekerja daun tembakau. Setelah itu, para pekerja H. Palerei akan datang membeli seluruh gulungan tembakau itu dan memrosesnya menjadi Rokok Bugis.

Angan Heddang berhenti saat di kejauhan sana sebuah angkutan desa mendekat. Ia menghentikan mobil itu, lalu naik menuju Takkalalla di mana dia akan menaiki angkutan umum antar kabupaten, panther. Di sepanjang jalan ia lewati kini, hanya sebarisan pohon kakao berusia tua ia lihat. Dari dusun satu ke dusun lain, dari desa satu ke desa lain. Tak satupun tanaman tembakau serupa yang diangankan tadi ia lihat.

Tapi angannya belum tuntas. Sekali lagi ia bergerak maju ke masa silam. Di masa ketika ekonomi tembakau mengubah budaya hidup mereka. Sebuah budaya tanam baru yang perlahan-lahan membuat beberapa jenis burung tak betah lagi tinggal di desa mereka. Ia masih ingat, dua jenis burung yang mudah ditemui saat itu, yakni kakak tua (cakkelle) dan burung putih (putteng). Keduanya memakan jagung dan kacang hijau. Kini tanah milik tembakau, dan rantai makanan kedua burung inipun terputus dan mereka akhirnya pergi meninggalkan penduduk yang terbuai dengan idola baru, tembakau.

Di desa Soga, Haji Palerei adalah pemasok Rokok Bugis bagi perokok di wilayah Timur dan Tenggara Sulawesi. Kepadanyalah Heddang muda belajar membuat Rokok Bugis dan membantu proses distribusi rokok ini ke Kolaka, Kendari, Buton dan Raha. Demikian pula para petani tembakau yang kemudian menjadi pemasok utama daun ico kepada H. Palerei.

H. Palerei memproduksi seratus timpo Rokok Bugis dalam sehari dengan jumlah pegawai mencapai 20 orang. Satu timpo berisi sekira 20 gulungan Tembakau kering. Dari setiap gulungan tembakau itu, seorang perokok tembakau dapat melinting hingga seratus batang. H. Palerei adalah pedagang inovatif. Konon kabarnya, dialah yang memulai mencampur ico atau Tembakau Buxgis dengan saus gula merah—yang saat itu masih diproduksi oleh banyak pembuat gula dari pohon aren—dan membakarnya di dalam bambu (timpo) yang dibuat di Wanua (kampung) Soga pada era 1970an. Sebelumnya, Tembakau Bugis, hanyalah gulungan tembakau kering.

Rute pengangkutan Rokok Bugis dari Soga ke Sulawesi bagian Tenggara menggunakan kuda patteke ke Koppe, lalu dengan mobil ke pelabuhan Bajao, menyeberang dengan perahu Lambo ke Kolaka dan mengarah ke Kendari dengan truk, kemudian menyeberang lagi dengan perahu Lambo ke pulau Muna, dan akhirnya sampai ke Bau-Bau di pulau Buton. Ketika komoditas tembakau mengalami kemunduran dan saat tidak semua orang Soga punya lahan cukup untuk menanam kakao, mereka pun merantau ke Tenggara dengan membuka lahan baru. Sebagian mereka kini hidup berkeluarga di Kolaka.

H. Palerei (80), kini menetap di Kabupaten Kolaka. Sebagai pedagang Rokok Bugis [kini kakao] yang sukses ia memiliki banyak alat produksi seperti truk, mobil Toyota Pick-Up dan lahan yang luas di beberapa tempat seperti Wanua Soga maupun di desa-desa di Kolaka. Kini, sejak tanaman tembakau memudar di pertengahan 1980an, tak ada satupun petani Soga menanam tembakau, mereka kini menanam kakao sebagai sumber pendapatan ekonomi baru. Tapi Heddang tetap di garis masa lalunya. Saat H. Palerei mengalihkan usahanya ke bisnis kakao, Heddang justru melanjutkan usaha Rokok Bugis desa Soga. Di desa lain, seperti Cabbeng[e], masih banyak petani menanam tembakau. Ia tak khawatir dengan pasokan daun ico’.

Tembakau Mentah, Makasar

Heddang sudah di atas Panther menuju Makassar, empat atau lima jam ke depan ia akan menemui H. Saide dan menyampaikan maksudnya.

H. Saide bisa disebut seorang legenda. Di usianya yang kesembilan puluh, ia masih memproduksi Rokok Bugis ‘Adidie’ dengan menggunakan tembakau Cabbeng asli. Ia lahir di desa Cabbeng, kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Masa Jaya usahanya pada 1970 sampai awal 1990 menjadikannya salah seorang dari sedikit orang terkaya di Sulawesi Selatan. Rokok Bugisnya adalah rokok beraroma keras (sarru’, mks) yang paling diminati oleh para perokok Sulawesi hingga Papua pada dua sampai tiga dekade lalu.

Berdasarkan cerita H. Muhammad Nur—asisten setia H. Saide, Perusahaan Rokok Adidie berdiri sejak tahun 1962 di Kota Makassar. Pendirinya adalah H. Saide. Saat itu, ia masih muda dan memilih meninggalkan desa Cabbeng, tanah kelahirannya yang sedang diduduki Laskar DI/TII. Sebagian besar penduduk mengungsi ke kota yang berada di bawah kendali militer Siliwangi dan sedang bertugas menumpas pembangkangan politik Qahhar Mudzakkar. Saide sendiri memilih mengungsi ke Makassar pada tahun 1955 dan beberapa tahun kemudian mengembangkan usaha Rokok Bugis yang pasokan tembakaunya berasal dari desa-desa di kabupaten Soppeng, khususnya Cabbeng.

H. Saide adalah putra ketiga dari pasangan H. Bocing dengan I Cue’. Saudaranya berjumlah 6 orang dan hanya ia yang menggeluti usaha tembakau. Ia menikah dengan Hj. Sitti dan dikaruniai sembilan putra dan seorang putri. Setelah perjuangan DI/TII memudar dengan tewasnya Qahhar Mudzakkar di Sungai Lasolo, Kolaka, keadaan kampung-kampung di Sulawesi Selatan mulai membaik. Banyak pengungsi kembali ke desanya dan menanam tembakau. Memasuki tahun 1965, saat kondisi keamanan semakin kondusif di desa, usaha H. Saide mulai bertumbuh. Pertumbuhan usaha ini semakin stabil hingga tahun 1980an.

Secara material, kekayaan H. Saide dari hasil usaha tembakaunya terlihat jelas. Ia memiliki beberapa rumah besar baik di kampung halaman, di Makassar, maupun di Jakarta. Ia juga membeli sejumlah mobil mewah di masanya semisal Jeef Wilis, VW, dan Chevrolet. Belum lagi alat-alat produksi untuk menopang proses produksi dan distribusi Rokok Bugisnya ke luar Makassar ia punyai. Dengan jumlah pekerja tembakau berkisar 40 orang yang menghasilkan 500 timpo tembakau perharinya ia menjadi pengusaha Rokok terbesar di Sulawesi Selatan. H. Saide bahkan pernah membangun usaha bisnis transportasi publik (bis) khusus jalur Soppeng – Makassr – Sinjai. Tapi usaha sampingan itu ia tinggalkan dan memilih berkonsentrasi pada usaha Rokok Bugisnya.

Beberapa pengusaha Rokok Bugis lain yang turut berkembang saat itu adalah H. Kasiran (Rokok Tempe), H. Santo (pabriknya bersebelahan dengan Pasar Terong, Makassar), H. Hafid (di Batua Raya, Makassar), H. Indare (Rokok Doanja, Cabbeng), H. Nasir (Rokok Ayam Telor, Cabbeng), dan tentu saja H. Palerei di Soga. Keluarga-keluarga ini dan umumnya keluarga-keluarga yang terlibat langsung dalam produksi Tembakau Bugis hidup sejahtera. Anak-anak mereka, sebagai generasi kedua menikmati kemakmuran yang tak pernah dirasakan generasi sebelumnya.

Salah satu generasi kedua itu adalah Sudirman Nasir (41). Ia adalah putra H. Nasir yang kini dosen pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Di awal 1990an, ia adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Setamatnya dari Universitas Hasanuddin tak lama kemudian ia melanjutkan studi master di Australia.

Sebagai anak pengusaha Tembakau Bugis, biaya pendidikan tentu bukan masalah bagi orang tuanya, H. Nasir. Demikian pula saat salah seorang putra H. Saide melanjutkan kuliah di Jakarta di era 1980an, mudah saja bagi H. Saide membeli sebuah rumah mewah di kawasan Menteng. Kabarnya, rumah itu yang kini masih milik H. Saide akan dijual olehnya dengan taksiran harga belasan milyar.

Bagi Sudirman, masa jaya Tembakau Bugis memang telah lewat. Sebagian yang bertahan dan tetap hidup makmur sekarang bisa melakukannya karena bertindak antisipatif. Maksudnya, selain berdagang Tembakau, sebagian modal mereka alihkan untuk membeli tanah sawah dan kebun, di Soppeng atau di luar Soppeng. Sudirman menyebut beberapa pengusaha Tembakau Bugis yang masih bertahan karena sikap antisipatif mereka. Mereka adalah keluarga H. Indare’ (pengusaha Rokok Bugis Doanja), keluarga H. Saing dari Mattirowalie dan keluarga H. Saide di Makassar. Sedangkan, beberapa keluarga yang tidak antisipatif di sisi lain juga sedang menghadapi masalah generasi kedua, yakni generasi yang sekedar hidup foya-foya di saat masa jaya orang tua mereka.

Di masa jaya itu, saat ia masih berusia belasan, Sudirman melihat remaja-remaja dari keluarga Tembakau di Cabbeng sudah terbuai oleh mobil-mobil mengkilap dan sepeda motor terbaru. Sehari-harinya, mereka memamerkan mobil berikut asesorisnya dan maccewe’-cewe’ atau berpacaran saja. Jika ada keluaran mobil terbaru di Jakarta, pastinya tak lama akan tiba di Cabbeng.

“Aih, Napabbangkarro’i Tomatoanna.” Ujar Sudirman dalam bahasa Bugis. Mereka membuat usaha keluarga bangkrut di saat mereka sendiri terbuai di zona nyaman dan tak ada etos kerjanya. “Deteriorating rapidly and now unemployed!” demikian komentar singkat Sudirman tentang usaha keluarga Tembakau Bugis yang runtuh.

Runtuhnya usaha Tembakau Bugis berbasis keluarga ini juga diperparah oleh ekspansi rokok putih (impor) dan khususnya kretek dari Kudus. Dibandingkan dengan Kretek, Tembakau Bugis kalah nyaris dari semua aspek usaha ini. Mulai dari kemasan yang lebih baik

(olahan mesin), aroma yang lebih bercita rasa (campuran cengkeh), manajemen usaha yang lebih professional (usaha Kretek sudah mulai pada abad 19 sejak ditemukan pertama kali oleh H. Jamhari dan dikembangkan oleh H. Nitisemito), dan tentu saja harga yang terjangkau dengan sisi kepraktisan yang jauh lebih memanjakan konsumen atau perokok.

Di Makassar, hanya Perusahaan Rokok Bugis ‘Adidie’ milik H. Saide yang bertahan. Di usianya yang sudah menginjak angka 90, H. Saide bersama 6 pekerjanya tinggal mampu memproduksi 300 Timpo perminggu atau 1.200 timpo perbulan atau 14.400 timpo pertahun. Bandingkan pada masa jayanya yang produksi Rokok Bugisnya mencapai angka 15.000 timpo perbulan dan 180.000 timpo pertahun. Jika dahulu pekerjanya mencapai 40 orang, kini tinggal 6 orang saja. Jika dulu distribusi Rokok Bugisnya ke Indonesia bagian Timur, kini semakin menyempit di sebagian kecil area Sulawesi Tengah dan Selatan. Jika dulu konsumennya dari berbagai kalangan, kini tinggal sebagian petani dan nelayan saja yang menghisapnya. Jika dulu harga belinya menguntungkan pengusaha dan pedagang eceran, kini harganya jauh merosot.
Sore, setibanya di Terminal Daya Makassar, Heddang melanjutkan perjalanan menuju Jalan Tinumbu. Ia naik kendaraan umum pete-pete menuju Pasar Sentral. Di ujung jalan Tinumbu, ia berjalan menuju Pabrik Rokok Bugis Adidie. Di depan sebuah bangunan serupa rumah toko ia berdiri. Sejenak ia membaca papan nama di sudut kanan atas rumah ini. Tertulis di sana ‘Perusahaan Rokok Adidie’ berdiri sedjak 1962’. Ia maju beberapa langkah, mengetuk pintu dengan mantap untuk satu tujuan pasti, mengumpulkan modal untuk melanjutkan usaha Tembakau Bugis di kolong rumah panggung yang ia tinggalkan tadi pagi. []Bagi H. Muhammad Nur, akhir dari usaha Rokok Adidie tinggal menunggu waktu. Begitu H. Saide tutup usia, maka legenda Rokok Bugis akan usai.

Oleh Ishak Salim

Koordinator Wilayah Komunitas Kretek Makasar


Terimakasih Bung Beno Widodo

$
0
0

Beno WIdodoMungkin hanya ucapan terimakasih yang bisa kami sampaikan kepada beliau. Karena dalam masa perjalanan perjuanganya, pernah hadir dalam barisan kami untuk menyelamatkan kretek dan menyelamatkan Indonesia. 

Awal mula pertemuan kami, sekitar bulan Juni 2012. Pada saat itu, ada sebuah rencana aksi yang akan dilakukan oleh Komunitas Kretek bersama dengan ribuan petani tembakau di Jakarta. Konfederasi KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia), ikut serta dalam koalisi untuk mengorganisir aksi tersebut. Beno Widodo, adalah salah satu perwakilan dari KASBI yang kerap kali hadir dalam rapat-rapat persiapannya. Sampai pada akhirnya aksi tersebut sukses terlaksana pada tanggal 13 juli 2011. Lalu dalam sebuah konsolidasi lintas sektoral di Yogyakarta, beliau hadir sebagai perwakilan organisasi untuk konsolidasi tersebut, yang kemudian kami beri nama Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek. Desember 2011, sebuah rencana aksi besar petani tembakau di 4 kota di Jawa Tengah, juga menjadi bagian dari kebersamaan perjuangan kami dengan beliau. Sebuah pemogokan petani dalam merespon rencana pemerintah mengeluarkan RPP Tembakau. Beliau hadir sebagai koordinator deployment, untuk memastikan bala tentara kretek lancar dalam mempersiapkan aksi di 4 kota tersebut.

Sayangnya, itulah kerbersamaan terakhir kami. Belum sempat lagi kami bersua denganya, walau hanya untuk sekedar berbincang diantara kopi hitam dan kretek filter kesukaanya.

Terlalu singkat. November 2012 beliau sudah pergi. Beno meninggalkan sebuah pengalaman yang menjadi pembelajaran. Bahwa dalam sebuah perjuangan, tak pernah ada kata lelah, tak pernah ada kata melemah, tak pernah ada kata menyerah.

Beno Widodo nama lengkapnya. Biasa dipanggil Beno. Sebelum beliau menjadi pimpinan serikat buruh, dan mengabdikan hidupnya untuk perjuangan buruh, beliau bekerja disebuah pabrik textile besar di Bandung, Jawa Barat. Mimpinya tinggi, ingin menjadikan buruh sebagai sebuah kelas yang berkuasa di negeri ini. Kerjanya keras dalam mewujudkan mimpi itu. Ayah dari seorang anak bernama Bagas, yang disetiap kesempatan bercerita, maka hanya kebanggaan demi kebanggaan yang ia ceritakan tentang Bagas, yang saat ini telah memasuki jenjang sekolah menengah pertama.

Sosoknya sederhana, tak pernah tergiur dengan kemewahan. Canda-candanya selalu hadir disetiap keramaian perbincangan. Semangatnya terasa menggebu, disetiap pandanganya pada berbagai diskusi tentang perjuangan. Kekonyolan tingkah lakunya, akan teriringi dengan gelak tawa. Keberanianya membawa teladan bagi setiap orang yang ada disampingnya. Itulah yang akan kami rindukan darinya.

Beno Widodo

Mungkin butuh ribuan halaman jika harus menulis cerita tentang dia. Karena terlalu banyak apa yang telah dia lakukan bagi umat manusia. Terlalu besar jalan perjuanganya untuk kami ceritakan dalam beberapa paragraf. Namun kami yakin, sembari tersenyum, tulisan kecil ini akan dia baca disana. Lalu akan dia simpan sebagai sebuah cinderamata.

 

Sekali lagi, kami ucapkan terimakasih kepada beliau, yang telah berbagi bersama kami dalam mengarungi medan perjuangan ini. Apa yang telah beliau berikan, akan menjadi sebuah pengalaman dan kenangan dalam sejarah perjuangan kami.

Terimakasih bung Beno Widodo, telah bersama kami dalam perjalanan perjuangan hidup anda. Selamat Jalan.

Komunitas Kretek

13 November 2012

Cethe; Seni Melukis Unik dengan Bubuk Kopi

$
0
0

Satu lagi sebuah tradisi khas yang dimiliki Indonesia, dan sepertinya hanya negeri kita yang punya kebiasaan unik ini. Sebuah tradisi yang mudah dijumpai di Jawa Timur, terutama Kabupaten Tulungagung. Tradisi itu bernama seni Cethe, yakni melukis rokok dengan menggunakan media bubuk kopi.

Tidak semua orang punya keahlian untuk melakukan Cethe, apalagi mengingat media yang digunakan sangat sulit. Media lukis berupa kertas batangan rokok yang tergolong tipis dan halus menjadi tantangan tersendiri bagi para pecinta Cethe. Begitu pula bubuk kopi yang digunakan pun dirancang khusus. Pengolahan kopi perlu dilakukan oleh tangan-tangan khusus agar bisa menghasilkan bubuk yang sangat halus dan kental.

Di Kabupaten Tulungagung, sebagai salah satu sentra kopi, terdapat banyak jenis bubuk kopi yang bisa dijadikan untuk bahan bermain Cethe. Masyarakat Tulungagung menyebut bubuk kopi ini dengan sebutan “wedang kopi cethe”, sebuah nama yang disematkan karena kopi itu kerap dipakai untuk Cethe. Biasanya para pengolah kopi ini mencapurkan banyak bahan-bahan tertentu yang tentunya menjadi rahasia para pemilik kedai kopi. Sebagian masyarakat menyebutnya dengan kopi ijo atau kopi hijau, bubuk kopi ini memang sangat halus dan sedikit berwarna hijau.

Cara nyethe, sebutan untuk kegiatan Cethe,  ini bervariasi. Salah satunya yakni dengan mengendapkan dahulu kopi yang sudah dibuat didalam gelas atau cangkir kecil sampai ampasnya benar-benar mengendap.  Setelah ampas kopi mengendap, sedikit demi sedikit kopi dituang pada gelas lainnya, dengan tujuan untuk mendapatkan endapan ampas kopi yang sempurna (halus dan banyak).  Selain cara itu, Nyete juga bisa dilakukan dengan cara mengendapkan air kopi di lepek (piring kecil), kemudian genangan kopi dikeringkan dengan menggunakan tisu, sehingga hasil endapan bisa didapatkan dengan baik.

Setelah endapan terkumpul, para pecinta Cethe melukiskan endapan tersebut dengan bantuan batang korek api kayu, atau dengan tusuk gigi. Bahan yang runcing dan halus memang dibutuhkan untuk mendapatkan goresan yang bagus. Endapan yang sudah diambil dengan batang tusuk gigi tersebut dioleskan atau dilukis diatas media kertas pada batang rokok, disinilah seni lukis Cethe mulai dilakukan. Lukisan yang dibuat kerap berbentuk semacam motif batik, tulisan, bahkan sampai bentuk realis wajah. Sungguh tradisi yang benar-benar imajinatif dan butuh ketelitian. Karena media yang digunakan kecil dan halus, bertindak kasar sedikit akan merobek kertas media Cethe.

Seusai pelukis Cethe menyelesaikan membuat gambar, kemudian rokok itu dikeringkan dahulu sampai endapan kopi yang digunakan untuk menggambar benar-benar kering, dalam artian tidak ada sisa air pada endapan bubuk kopi tersebut. Butuh ketelatenan yang tinggi demi mendapat hasil maksimal.

Tradisi ini sangat mudah dijumpai di Tulungagung, bahkan beberapa waktu sempat diadakan pula festival Nyethe, atau perlombaan untuk mencari hasil Cethe terbagus. Tradisi negeri Kita memang terkenal unik dan beragam, kelestarian adat budaya masyarakat yang khas menjadikan Indonesia sebagai Negara beribu-ribu budaya. Kekayaan ini bernilai mahal, dan masyarakat Indonesia sendiri yang perlu menjaga dan melestarikannya. Semoga jaya selalu Indonesiaku.

Nanok

Sumber: palingindonesia.com

Little Krishna dan Hanuman Kampanye ‘Boleh Merokok’

$
0
0

Empat orang berpakaian badut pagi ini melakukan kampanye boleh merokok secara santun di kawasan titik nol Yogyakarta. Mereka adalah bagian dari Komunitas Kretek Yogyakarta yang menyuarakan bahwa merokok adalah hak konstitusional yang tidak bisa dilarang penuh.

Dari para pemeran badut, ada yang mengenakan kostum tokoh animasi Little Krishna. Ada pula yang berpakaian wayang orang Hanuman. Mereka membagikan stike, brosur, dan korek api kepada pengguna jalan di kawasan tersebut. Stiker yang dibagikan bertuliskan ‘Boleh Merokok’.

Ketua panitia acara Ines Pradewi menerangkan, merokok adalah hak konstitusional yang legal menurut putusan Mahkamah Konstitusi no. 57 tahun 2012. Karena itu ia mengajak para perokok untuk merokok secara santun, tanpa terbebani aturan, namun juga secara bertanggungjawab.

“Kami mengajak publik merokok sacara santun dan etis, sekaligus menyampaikan pesan bahwa setiap kantor atau gedung wajib menyediakan ruang khusus merokok, sebagai bagian dari kepatuhan terhadap putusan MK,” ujarnya.

Ia menganggap, gerakan kampanye anti rokok saat ini dinilai cukup mengkhawatirkan. Pasalnya ada kepentingan kapital tertentu dibalik pelarangan merokok yang diterapkan, khususnya di Yogyakarta. “Di beberapa kampung yang mencanangkan bebas asap rokok, itu tidak murni dari gerakan kampung itu sendiri, namun ada organisasi tertentu yang memberikan dana,” ujarnya. YOGYA (KRjogja.com)

Diskusi Etika dan Hak Merokok di Universitas Hasanudin

$
0
0

Diskusi publik soal Etika dan Hak merokok yang dilaksanakan oleh Komunitas Kretek Makassar berlangsung meriah. Peserta yang mayoritas mahasiswa Universitas Hasanudin jumlahnya nyaris mencapai 100 orang. Narasumber diskusi ini adalah Hj. Sri Rahmi (anggota Kaukus Perempuan DPRD Makassar), Mulyani Hasan (anggota Ininnawa), dan Yahya Kadir (Antropolog Universitas Hasanuddin.

Suasana diskusi kretek dan perempuan di Baruga AP Pettarani Universitas Hasanuddin.

Sri Rahmi sebagai inisiator rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok di Makassar mengemukakan memaparkan alasan mengapa Kaukus Perempuan mengajukan inisiasi Rancangan ini dan tantangan-tantangan internal yang mereka hadapi. Alasan utamanya adalah alasan kesehatan, tuturnya. Selain itu,

Mulyani Hasan memamparkan bagaimana posisi perempuan dalam isu kretek/rokok. Menurutnya, stigma perempuan Perokok di masyarakat Patriarki di Sulawesi Selatan, khususnya perkotaan, cukup merugikan perempuan. Ia mencontohkan bahwa perempuan perokok kerap merasa berat merokok di ruang publik akibat stigma ini, padahal kaum lelaki bisa dengan bebas tanpa beban stigma.

Kaitan dengan aturan larangan merokok, ia menyarankan agar jangan hanya melihat rokok dari sudut pandang kesehatan, tapi juga dari sudut pandang ekonomi politik. Dalam lingkup global, pertarungan rokok ini merupakan pertarungan ekonomi antara perusahaan farmasi dan perusahaan rokok. Ia mengutip buku ‘Nicotine War’ yang ditulis Wanda Hamilton yang memaparkan bagaimana perusahaan Farmasi raksasa mendorong isu anti tembakau dan rokok demi alasan lakunya produk mereka yang disebut Nicotine Replacement Treatment (NRT). Sebagai contohnya, Bloomberg yang selain memiliki perusahaan farmasi juga adalah walikota New York.

Sementara itu, Yahya Kadir memaparkan bahwa cara pandang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Makassar yang mengusulkan ranperda KTR jangan reduksionis. Baginya, korban yang terpapar di jalan raya juga tinggi, belum lagi asap kendaraan bermotor merupakan pemicu munculnya penyakit-penyakit degeratif seperti jantung, kanker, dsb. Sehingga kalau merokok menyebabkan kanker dan dianggap sebagai satu-satunya penyebab, maka itulah reduksionis. Sebaiknya, anggota DPRD juga memperluas alasan mereka ke ranah ekonomi politik.

Hj. Sri Rahmi berasal dari Komisi A. Di komisi itu ada H. M. Busrah Abdullah, Yusuf Gunco, dan Nuryanto G. Liwang yang merupakan perokok-perokok berat. Di pintu ruang komisi itu pernah terpasang pengumuman ‘Ruangan Bebas Merokok’ yang kemudian menjadi tempat “nyaman” bagi anggota dewan yang perokok. Perjuangan Sri Rahmi dan inisiator lainnya memang cukup berat dan inisiatif itu masih terkendala di Badan Legislatif. Ia tak menguraikan dengan jelas mengapa Badan Legislatif masih menahan rancangan mereka.

Penataan ruang diskusi di pelataran Baruga AP Pettarani cukup kreatif. Di tiang-tiang tembok Baruga terpasang beberapa poster yang memuat pesan simpatik. Misalnya, “Make Smoking Room Not Killing Room’, ‘Sediakan Ruang Merokok Yang Layak’, atau kalimat berdasarkan semangat dalam salah satu pasal UU Kesehatan yang berbunyi ‘Khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya menyediakan ruang khusus untuk merokok’.

Sebagaimana pesan poster ini, beberapa penanya meminta Hj Sri Rahmi untuk juga memerhatikan Ruang Khusus Merokok yang layak. Jangan hanya memikirkan bagaimana membatasi ruang bagi perokok tanpa memikirkan ruang nyaman untuk merokok. Hj. Sri Rahmi memang menegaskan bahwa Perda ini bukan melarang orang untuk merokok, tapi mengatur ruang bagi perokok agar para non-perokok tidak terpapar asap rokok.

Seorang peserta diskusi kretek di Unhas (23 Nop 2012) perempuan menyampaikan keluhannya saat naik pete-pete (angkot) yang di dalamnya ada seorang bapak yang merokok. Ia tergolong tidak suka bau asap rokok dan merasa pusing bila usai mencium asap rokok. Karena tidak mau merasa pusing setiba di rumah ia memberanikan diri menegur bapak tadi. “Pak, tolong tidak merokok di pete-pete?” Bapak tadi diam sejenak sambil memandangnya. Tak lama bapak itu berujar. “Dik, kalau tidak mau cium asap rokok, naik taksi ko!”

Perilaku perokok yang egois seperti ini memang tak layak dicontoh. Dalam tindakan dan interaksi apapun, seyogyanya etika mesti dijunjung tinggi, termasuk dalam urusan merokok di ruang publik[].

 

Ishak salim (isangkilang@yahoo.com)

Koordinator Komunitas Kretek Makassar

Menafsirkan Uskup Soegija Merokok

$
0
0

Tak sedikit umat Katolik protes setelah menyaksikan film dokumenter ”Soegija”. Salah satu sekuel film besutan Garin Nugroho itu menampilkan sosok uskup pribumi pertama Indonesia, Mgr Soegijapranata, menikmati rokok yang diisapnya secara presisi. Mereka protes mendasarkan pertimbangan bahwa tubuh manusia adalah tahta Tuhan, tak boleh dicemari rokok. Mengapa Uskup Soegija dalam kapasitas sebagai pemimpin umat Katolik melakukan hal itu?

Soegija merokok berarti melanggar spirit pro-life sebagaimana berlaku bagi agamanya. Salahkah itu? Rasanya tidak bisa hitam putih untuk menyalahkan atau membenarkan. Tapi dari sisi film dokumentatif, memang seharusnya apa adanya. Di negara Barat merokok di tempat umum dilarang, iklan jauh lebih ketat namun kita begitu mudah melihat film Barat yang sering sekali menampilkan orang merokok.

Stigma buruk terhadap rokok, khususnya keretek, lebih sebagai strategi agenda pengendalian tembakau lewat regulasi tembakau Indonesia, menyusul momentum kampanye global antitembakau. Gerakan ini melibatkan tokoh internasional yang juga Wali Kota New York Michael Bloomberg melalui program Bloomberg Initiative to Reduce Tobacco Use.

Tahun 2006 Bloomberg mengucurkan dana 125 juta dolar AS mendukung WHO dan gerakan antitembakau lain, untuk mendesakkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di seluruh dunia. Dua tahun kemudian, 250 juta dolar AS kembali digelontorkan, dan mendapat sokongan 125 juta dolar dari Bill Gates, mengalir ke berbagai kelompok dan lembaga di Indonesia, di antaranya Indonesian Forum of Parliamentarians on Population and Development (IFPPD).

Ratifikasi FCTC adalah amunisi perang global antitembakau untuk menggoyang industri rokok Indonesia guna menurunkan tingkat kompetisi dan membuka peluang baru bagi gerakan konsolidasi industri tembakau global yang diwakili kekuatan tertentu, seperti Philip Morris International, British American Tobacco, Imperials Tobacco, Japan Tobacco, dan Korea Tobacco & Ginseng (KT&G).

Propaganda antitembakau yang dimotori AS, ditujukan untuk pengendalian industri keretek. Kampanye ini tak lebih retorika memanfaatkan ketergantungan publik terhadap otoritas kesehatan. Tujuannya menciptakan rasa takut dari teror bahaya rokok terhadap kesehatan. Teror menciptakan peluang memassalkan produk Nicotine Replacement Therapy (NRT) seperti nikotin sintetis secara masif lewat industri transnasional farmasi/ MNC. Tujuannya, menciptakan kendali potensi keuntungan miliaran dolar per tahun dari industri tembakau kita.

Cagar Budaya

Gambarannya jelas. Indonesia termasuk 10 besar negara produsen tembakau, dengan produksi 120 ribu ton per tahun, dan peringkat 1 produsen cengkih dunia dengan 50 ribu ton per tahun, menguasai 60% pasokan dunia. Tradisi ramuan cengkih dan tembakau hanya ditemukan di Indonesia sehingga menjadikan rokok kretek sebagai produk khas. Dengan kata lain, keretek sebagai salah satu identitas khas Indonesia bukan saja merupakan hak sejarah melainkan juga hak alam. Keretek telah menjadi cagar budaya (heritage) bangsa kita, keberadaannya harus dijaga.

Sebanyak 90% pendapatan cukai diperoleh dari rokok. Cukai tahun 2011 mencapai Rp 62,759 triliun, menyumbang lebih dari 6% APBN 2011 yang dipatok Rp 1.169,9 triliun, jauh lebih besar ketimbang sumbangan dari industri pertambangan yang cuma Rp 13,77 triliun. Sebanyak 11 juta tenaga kerja dari hulu hingga hilir bekerja pada sektor produk rokok keretek.

Seandainya Romo Soegija hidup pada zaman sekarang, saya berpikir Beliau tetap mempertahankan kebiasaan merokok, tak peduli popularitasnya redup di kalangan umat yang kadung terkontaminasi pikiran bahwa rokok menodai tahta Tuhan.

Bukan saja Beliau siap bertukar nyawa melainkan lebih rela meninggalkan surga memilih mati dalam hening mengawal kedaulatan kretek dari nafsu serakah kapitalis dan pribumi pengkhianat, yang lupa bahwa keretek adalah identitas khas ibu pertiwi. []

Petrus Widijantoro

Pemimpin Redaksi Majalah Psikologi Plus

Tulisan in dipublikasikan di Harian Suara Merdeka, 13 Juli 2012 

Iklan ‘Selamatkan Indonesia’ dan Kaum Sekolahan

$
0
0

Iklan “Selamatkan Indonesia” dan Kaum Sekolahan

Pro-kontra terkait isu tembakau atau rokok belakangan semakin hari semakin menajam. Setelah ribuan petani berduyun-duyun dari dusun sentra-sentra tembakau menggeruduk ibukota menolak RPP Tembakau. Belum lama berselang pihak anti tembakau giliran mengeluarkan suara kepedulian bertema “Selamatkan Indonesia”. Tidak tanggung-tanggung, kurang lebih lima puluh cendekiawan menandatangani semacam petisi menyeru Pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan regulasi pengendalian konsumsi tembakau. Menurut mereka rokok adalah endemi global yang menyebabkan munculnya gejala degenerasi tubuh dan berbagai penyakit pada masyarakat modern. Lebih dari itu, bahkan kebiasaan merokok menghambat upaya pengentasan kemiskinan karena hakikinya adalah sumber pemiskinan itu sendiri. Dengan deretan angka-angka yang dikait-kaitkan pada isu kesehatan dan kemiskinan, kaum sekolahan mendakwa sektor industri tembakau sebagai akar sebab musababnya. Benarkah demikian?

Penulis melihat ada kesan kepanikan yang berlebihan di kalangan kaum sekolah ini melihat kebiasaan (habituating) masyarakat mengonsumsi tembakau. Selain itu, juga bangunan kesimpulan yang tampak tergesa-gesa sebegitu rupa pun tercermin dalam petisi ini. Sebab bukankah konsumsi tembakau sebenarnya sudah menjadi tradisi pembentuk wajah kebudayaan bangsa sejak dulu? Secara historis dan literal tercatat nama perempuan pebisnis Roro Mendut, yang hidup pada zaman raja Sultan Agung abad ke-16 di Mataram, sukses membuka lapak bisnis ini. Sehingga boleh dikata industri olahan tembakau muncul dan tumbuh mendahului lahirnya Republik. Bahkan, industri tembakau langsung atau tidak langsung turut menyangga struktur industri nasional. Di tengah-tengah hantaman gelombang krisis ekonomi global dan gejala de-industrialisasi negeri, kita lihat geliat eksistensi industri ini mencerminkan elan spirit enterpreuneur sejati yang mampu tetap tumbuh, meski tanpa disusui kebijakan proteksi dan subsidi negara. Dengan serapan tenaga kerja mencapai 10 juta orang (ILO 2003) dan kontribusi pada kas negara mencapai 70 triliun lebih per tahun, maka tidak salah jika pemerintah mendudukkan sektor ini sebagai salah satu industri prioritas nasional. Lalu, mengapa kaum sekolahan menutup mata akan realitas ini?

Dana Bloomberg Initiative dan Standar Ganda Amerika

Ironisnya lagi, kepanikan para cendikiawan ini terkesan tiba-tiba saja membuncah riuh simultan dengan menguatnya gerakan isu anti tembakau global dan upaya ratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Pertanyaannya ialah, apakah riuh rendah protes ini berkorelasi kucuran milyaran rupiah dari Bloomberg Initiative yang didirikan Michael Bloomberg itu? Bloomberg yang adalah pejabat walikota New York tiga periode berturut-turut, politisi terkaya Amerika dan pebisnis korporasi media dan layanan jasa informasi keuangan global, tentu bukanlah sosok suci laiknya Dalai Lama atau Bunda Teresa yang bisa kita pastikan imun dari struktur kepentingan modal.

Tapi, barangkali saja mereka memang tidak tahu, bahkan pada isu anti tembakau global sekalipun Paman Sam juga mengenakan moralitas standar ganda. Alih-alih meratifikasi FCTC, Amerika sebagai salah satu negara produsen tembakau terbesar dunia malah mengeluarkan kebijakan mensubsidi pertanian tembakaunya pada tingkat hulu dan memproteksi perdagangan industrinya pada tingkat hilir. Artinya, jika kita mau mendedah kritis dibalik standar ganda negeri koboi terkait kebijakan tembakau di negaranya dan kampanye isu internasionalnya, maka seharusnya respon kita terhadap maraknya isu anti tembakau global bisa menjadi lebih bijak. Sehingga akhirnya kita pun mampu memilah-milah isu-isu global tersebut, salah satunya adalah isu anti tembakau dalam kerangka kepentingan nasional bangsa.

Terlebih jika kemudian kita pun tahu, kebenaran ilmiah terkait tembakau sebagai sumber penyakit hakikinya ternyata masih sangat debatable. Bagaimana mungkin, di satu sisi entitas tembakau dikatakan sumber segala penyakit, namun di sisi lain juga sumber senyawa obat? Ambilah contoh hasil riset saintifik Dr. Arief Budi Witarto peneliti LIPI. Dengan penerapan bioteknologi khususnya moleculer farming justru menemukan tembakau bisa menghasilkan protein anti kanker dan HIV. Contoh lain temuan Dr. Gretha Zahar dan Prof. Sutiman, dengan teknologi nanobiologi menemukan produk tembakau dapat menjadi obat berbagai penyakit seperti kanker. Berbagai hipotesa saintifik tentang tembakau sebagai senyawa obat, tentu riset-risetnya lebih berlimpah dan jauh lebih berkembang di negara-negara maju. Apakah sebagai kaum cerdik pandai mereka tidak bisa menduga, jika sangat mungkin setelah korporasi asing obat dan rokok telah memenangkan seluruh perebutan pasar tembakau dunia, lalu mereka tiba-tiba berbalik arah kesimpulan diskursifnya dan mengatakan: “Ini kita temukan sebuah rokok sehat”.

Namun, celakanya kaum sekolahan pura-pura tidak tahu fakta ini. Atau terkesan malah tidak mau tahu soal agenda kepentingan tersembunyi di balik isu anti tembakau global dan ratifikasi FCTC. Indonesia yang tidak meratifikasi traktat FCTC secara inferior selalu didudukkan dan disejajarkan negara-negara miskin seperti Somalia dan Zimbabwe. Sedangkan Amerika yang berjajar pada barisan terdepan kampanye anti tembakau global namun tidak meratifikasi traktat FCTC, malah tidak dipertanyakan secara kritis dan mendasar. Bahkan, sekadar mewartakan informasi tersebut kepada masyarakat pun tidak. Di sisi lain, senyawa tembakau sebagai sumber gejala penyakit masyarakat modern serta merta dianggap benar dan harus diterima taken for granted. Dengan begitu asumsi tujuan dibalik isu anti tembakau global dan FCTC adalah murni kesehatan masyarakat. Dan kucuran dana dari yang menamakan dirinya gerakan filantropis seperti Bloomberg Initiative pun diterima dengan tangan terbuka.

Lantas, pertanyaan lebih jauh ialah mengapa skeptisme dan kritisme beserta sikap jujur yang seharusnya menjadi kredo intelektualitas kaum cendikiawan tiba-tiba menguap hilang? Alih-alih mendedah secara objektif maupun mendudukan berbagai persoalan secara berimbang, yang menggejala justru mereka serta merta turut menggempar isu anti tembakau. Mengapa kaum cerdik pandai kita tiba-tiba dogmatis dan kehilangan nalar kritisnya, serta lebih jauh terkesan bersikap (attitude) laiknya para penganut agama yang fundamentalis ketika berbicara pokok soal isu tembakau?

Berharap Keberpihakan Kaum Sekolahan

Ketika saya melihat iklan-petisi separuh halaman pada sebuah harian media cetak Kompas dan majalah mingguan Tempo, saya mengelus dada prihatin. Teringat tulisan Ben Anderson tentang karakteristik kelas menengah Indonesia. Meski tulisan Ben ditulis jauh hari sebelum gerakan anti tembakau global mekar di tanah air, namun relevansi kritiknya kini masih terlihat relevan untuk membaca kecenderungan politik kelas menengah intelektual yang sangat tercermin dalam isu anti tembakau ini.

Menurut Ben, kelas menengah kita secara politik selalu mengambil posisi ‘aman’. Seturut pendapat Indonesianis lulusan Universitas Cornell ini, kelas menengah kita mengambil peran ‘belantik’ yang berfungsi memakelari kepentingan kapitalisme internasional dan rakyat. Celakanya, dalam konstelasi dan tarik ulur antara kepentingan modal asing dan rakyat, kelas menengah cendekiawan kita ini seringkali lebih memilih berpihak pada kepentingan asing daripada bangsa sendiri.

Dalam isu anti tembakau global, sikap politik kelas menengah cendekiawan menjadi terlihat lebih ironis. Beragam pertanyaan bisa kita lontarkan. Salah satunya ialah soal pilihan isu itu sendiri.

Pertanyaannya ialah, apakah sudah tidak ada isu-isu strategis lain yang lebih krusial bagi agenda masa depan bangsa dibandingkan isu bahaya konsumsi tembakau? Padahal kita tahu kebenaran riset saintifik terkait isu tembakau jelas masih debatable, bahkan di negara-negara maju sendiri. Bukahkah, jika benar-benar concern pada isu kesehatan masyarakat semestinya mereka akan mengadvokasi isu pembatasan pembelian produk-produk industri otomotif, misalnya, yang jelas-jelas tidak hanya menjadi problem terkait besarnya anggaran subsidi negara, tapi juga terkait ancaman polusi udara di kota-kota besar? Bukankah, jika benar-benar peduli isu kemiskinan masyarakat, akan lebih baik jika kaum sekolahan berhimpun menyeru biaya pengobatan murah bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali? Atau berhimpun menyeru upaya penyelamatan industri nasional yang menurut hasil riset LIPI (2009) tengah terancam de-industrialisasi? Atau mengapa juga bukan pada pilihan isu bagaimanana menggalakan agenda pemberatasan korupsi secara besar-besaran dan tidak tebang pilih, jika kita semua tahu kini korupsi telah menjadi gejala kebudayaan yang memiskinkan rakyat? Atau soal maraknya gejala kekerasan primordial berbasis suku maupun keagamaan dan sikap pembiaran negara, mengapa hal ini tidak menjadi concern seriusnya?

Ada banyak isu dan agenda strategis yang krusial bagi perjalanan sejarah Republik, tapi mengapa pilihannya jatuh sekadar pada isu tembakau? Apakah latar belakang pilihan isu yang sesungguhnya, apakah semata-mata kucuran milyaran rupiah dana Bloomberg Initiative?

Selain itu, apakah bukan hal yang berlebihan ketika norma dan etika perilaku (habituating) merokok yang sebenarnya cukup diatur pada tingkat masyarakat (civil society), kemudian harus diatur secara khusus pada tingkat negara (state) dengan sebuah perundang-undangan nasional. Apakah dengan begitu kaum sekolahan kita sebenarnya punya anggapan, bahwa masyarakat masih jauh dari kemampuannya untuk mengatur dan menata dirinya sendiri, sehingga negara harus hadir di tengah-tengah untuk mengatur moralitas dan etika masyarakat? Bagaimana pun, terkait dengan isu anti tembakau, konsekuensinya jelas akan membawa kita pada kesimpulan tersebut.

Dengan begitu tersirat ketidakkonsistenan diskursus filosofis libertarian yang sejak dulu cenderung menjadi paradigma yang lazim dianut para intelektual kita. Saya katakan paradigma liberalisme, karena selama ini mereka sering mengklaim dirinya pengusung nilai-nilai demokrasi dan bersikap anti terhadap moralitas “serba negara”. Bukankah, jika kaum sekolahan konsisten dengan paradigma nilai-nilai liberalisme, maka semestinya urusan rokok cukup menjadi domain privat yang bersifat ‘pro-choice’ yang kewenangannya didudukan pada kuasa rasionalitas masing-masing individu dan bukan negara? Namun, apa yang terjadi? Dalam isu rokok kaum sekolahan kita justru tampak tidak segan-segan mengadopsi sebuah kebijakan konservatisme ala Hitler, yakni dengan mendorong peran dominan negara untuk terlibat jauh dalam melakukan pengaturan norma dan etika masyarakat. Bukankah, peran negara yang turut andil dalam mengatur etik dan norma sebenarnya akan bertentangan dengan spirit libertarian mereka? Bukankah, wujud negara yang bermaksud mengatur etik dan moralitas masyarakatnya adalah jelas terkontaminasi filosofi Hegelian yang fasistik, yakni model “negara integralitik” yang dulu ramai-ramai ditolaknya, tapi mengapa kini mereka serukan kembali eksistensi!?

Dalam isu anti tembakau global ini, sangat jelas atmosfir ketidakmandirian posisi kelas menengah cendekiawan kita. Elan free thinker dan spirit libertarian sama sekali tidak tercermin, alih-alih berharap munculnya sebuah keberpihakan pada yang dimarjinalkan dan dideikriminasi. Quo vadis kaum sekolahan, apakah kita siap didakwa sebagai kaum cerdik pandai yang khianat dan lacur terhadap bangsanya sendiri oleh jutaan rakyat?

Waskito Sasongko Giri

Peneliti Senior Indonesia Berdikari

Tembakau dalam Relasi dan Realitas Sosial

$
0
0

Suatu hari seorang dosen menghadiahi saya dua buah buku luar biasa. Salah satunya berjudul, Kisah Tentang Tembakau, Kumpulan Tulisan Jurnalisme Sastrawi. Setelah membaca buku ini, saya teringat opini yang saya tulis pada Hari Tanpa Tembakau Sedunia 30 Mei lalu. Saya membaca kembali tulisan itu, lalu merenungkannya menggunakan sudut pandang baru seusai membaca berbagai kisah di buku ini. Meskipun ada beberapa pakem yang tetap saya pegang mengenai kebiasaan merokok, tetapi buku ini mencerahkan saya. Bahwa ada realitas sosial yang melekat pada tembakau, yang sudah ratusan tahun usianya.

Judul : Kisah Tentang Tembakau Kumpulan Tulisan Jurnalisme Sastrawi

ISBN : 978-979-8933-60-8

Penerbit : ISAI

Terbit : Juni 2012

Jumlah Halaman : 225

 

Berbagai fakta dan cerita diungkap oleh dua belas wartawan dalam buku ini akan sangat melengkapi cara pandang anda mengenai tembakau.

Kisah pertama yang paling memicu keheranan dan rasa penasaran, berbagi Kasih dan Kontroversi di Rumah Balur. Pernah terbayangkah di benak anda bahwa rokok dan asap rokok dimasukkan sebagai salah satu elemen terapi pengobatan? Sekitar 7000 jurnal penelitian kedokteran di dunia menyatakan bahaya rokok dan asap rokok bagi kesehatan manusia, lalu ada perempuan peneliti Indonesia yang mengangkat produk olahan tembakau ini menjadi obat yang menyembuhkan. Tentu banyak kontroversi yang muncul kemudian, namun pasien Rumah Balur – yang biasa disebut relawan – terus berdatangan dan merasakan khasiat dari terapi yang disuguhkan. Dr. Gretha Zahar, penemu terapi balur berusia 72 tahun menghayati hidupnya dengan berinteraksi, menyembuhkan dan menyelamatkan hidup orang lain. Larutan Divine Kretek yang diusungnya di Rumah Balur merupakan penemuan besar dan mahakarya dalam ilmu pengetahuan yang berbasis kearifan lokal. Menurutnya, banyak peneliti yang tidak tertarik mendalami khasiat tembakau karena sudah termakan stigma negatif yang melekat pada tembakau.

Tujuh tulisan diantaranya mengungkapkan kisah dan curahan hati petani yang telah puluhan tahun menggantungkan hidupnya dari bertani tembakau. Cerita petani tembakau Wonosobo, Bali, Temanggung, Lombok, Garut, Deli dan Boyolali, dibingkai dengan tradisi dan ritual masyarakat setempat yang melibatkan rokok dan tembakau sebagai bagian penting dari kelangsungan hidup mereka. Di Wonosobo, J. Anto mengungkapkan tembakau merupakan bagian dari tradisi nginang atau menyirih bagi orang tua. Di Bali, rokok diletakkan sebagai salah satu syarat ritual bebantenan atau tradisi menyembah Tuhan. Sementara rakyat Temanggung dalam tuntutannya bersikukuh bahwa merokok tidak akan membuat mereka mati. “Tembakau atau matii !”

Tembakau yang ditaman Amaq Teme dan petani tembakau lain di Lombok menceritakan sebuah fragmen jatuh-bangun para petani “berjudi” dengan cuaca dan tingkat harga temabakau di pasaran. Sukses yang di raih para petani tersebut semata untuk kesejahteraan anak dan istri, karena tembakau adalah hidup orang-orang ini. Kisah perkebunan tembakau Deli yang awalnya merupakan kawasan sumur bor juga turut memainkan emosi pembaca. Di tanah Garut, tempat kelahiran tembakau mole yang termasyhur, kini hanya tersisa Aceng Elin, petani tembakau generasi terakhir di kampung Maribaya, Garut. Sejarah kejayaan tembakau mole yang molek mungkin saja tidak bisa lagi dijumpai di masa datang, karena dibasmi oleh kekuatan-kekuatan dari luar desa. Berbeda dengan di Boyolali, kepulan temabakau menjadi kepulan harapan baru. Tembakau menjadi kunci roda perekonomian yang terus berputar di Boyolali.

Jika rokok selalu diidentikkan dengan maskulinitas, maka apa yang coba dikemukakan Saifullah Nur Ichwan, Adelina Safitri dan Helena Rea dalam catatan mereka ialah melawan anggapan tersebut. Sebenarnya memang tidak ada aturan baku perempuan dilarang merokok, tetapi prasangka buruk masyarakat terhadap perempuan perokok agaknya lebih besar daripada perokok pria. Jika dicermati hampir di setiap sendi kehidupan, isu gender selalu muncul dan mengemuka, entah mengapa perempuan selalu menjadi pihak yang dipinggirkan. Sri Prihati Sulistyo, seorang kepala desa, Dhani Purba, wartawati sebuah koran harian dan sekumpulan perempuan penglinting rokok kota Kudus menjadi cermin bagaimana kebiasaan merokok juga melibatkan isu gender.

Sri Prihati, yang dulunya adalah penyanyi terkenal ibu kota, kini turun tangan menjadi politisi desa. Jiwa seni yang ia miliki mendorongnya membentuk kelompok musik kolintang bernama Arimbi di kecamatan Godean. Dari kisah ini, pembaca ditunjukkan bahwa dengan menjadi perokok, Sri tidak kehilangan derajat dalam menjalankan peran dan fungsi sosialnya di masyarakat dan keluarga. Begitu pula dengan Dhani Purba, seorang wartawati yang kerap kali merokok di toilet umum setiap kali keinginan merokok menjajahnya secara tiba-tiba. Ia mengaku membutuhkan rokok, agar tulisannya mengalir deras. Ketika kesulitan menulis hinggap, Dhani mulai mengepulkan asap rokoknya dan secara ajaib tulisannya pun akan “mengepul” juga. Dalam tulisan ini penulis mengaitkan kepedulian Dhani sebagai wartawati terhadap nasib petani tembakau dan pedagang kecil yang bergantung pada rokok. Kegamangan juga dialami Sri Kuntini dan jutaan buruh penglinting perempuan lainnya. Mereka adalah pihak yang perlu dipertimbangkan dalam perang nikotin oleh organisasi-organisasi anti rokok.

Tulisan pamungkas, Divine Kretek, Asap Ajaib yang Menyehatkan menjelaskan teknis bagaimana asap Divine Kretek dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Pendekatan nano biologi yang digunakan dalam terapi balur Divine Kretek memang tak mudah untuk dicerna. Secara sederhana, asap rokok kretek yang dikecilkan dalam skala nano (satu nano sama dengan seper semiliar meter) dan dihisap atau disemburkan ke lubang tubuh pasien, mampu meluruhkan dan mengeluarkan radikal bebas dari dalam tubuh. Dalam bentuk nano, racun-racun di dalam tubuh dapat keluar dengan sangat mudah melalui pori-pori kulit, tanpa meninggalkan luka. Terapi balur sendiri tidak hanya terdiri dari merokok Divine Kretek. Sebelum terapi pasien meminum larutan asam amino, lalu dibaringkan diatas tembaga dan dibalur dengan berbagai ramuan, seperti garam, air kelapa, kopi dan sebagainya.

Pada akhirnya, produk jurnalistik harus menemui titik sasarannya. Pesan yang disampaikan tentu beragam, namun meruncing pada misi mengungkap sebuah realitas sosial. Tinggal bagaimana pembaca menerima dan mempersepsikan apa yang ia dapat.

Sumber

Oleh: Kenes Muni Iswara | @rennail 

Mahasiswa Jurnalistik di Ilmu Komunikasi FISIP UNTIRTA



Seminar dan Launching Muslihat Kapitalis Global

$
0
0

Pada launching buku ‘Muslihat Kapitalis Global’ di RM. Tamansari Indah tanggal 3 Desember 2012 yang di selenggarakan oleh Indonesia Berdikari dan BM PAN Surabaya, menghadirkan tiga pembicara yaitu Waskito Giri Sasongko, penulis buku “Muslihat Kapitalis Global”,  Wilson Sejarawan & penulis buku dan Zainul Luthfi selaku anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo. Dalam acara tersebut Oni Redaktur Jawa Pos sebagai moderator membuka seminar dengan menyatakan bahwa buku ini akan membuka prespektif baru bagi kita terutama bagi teman-teman perokok maupun non perokok.

Selama ini kita tidak tau apa yang terjadi di balik iklan-iklan rokok dan kita terkesan tidak bisa mempertanyakan apa yang ada di balik itu semua. Padahal kita tau dibalik kampanye anti rokok itu ada misi-misi tersembunyi terutama dari pihak luar negeri. Kemudian Oni mempersilahkan kepada pembicara pertama yaitu Zainul Lutfi, ia menyatakan bahwa Perusahaan rokok di Jawa Timur adalah perusahaan rokok terbesar di Indonesia dan harus ada ditribusi alokasi cukai agar sampai ke elemen paling bawah, contohnya para petani tembakau dan masyarakat yang terlibat dalam perusahaan tersebut. Akan tetapi selalu ada intervensi dari industri terhadap pembuatan kebijakan dan terjadi di berbagai bidang.

Wilson sebagai pembicara kedua bahwa buku ini mengingatkan kembali pada kita, bahwa Indonesia masih mengalami ketertundukan pada Negara maju yang bisa disebut dengan Neoliberalisme. Rokok kretek yang mempunyai akar ekonomi, sosial, budaya, sejarah khas Indonesia yang paling layak diberi gelar industri nasional, kini sengaja dihancurkan sendiri oleh pemerintah dan kebijakannya.

World Bank/WTO bisa memaksa negara-negara anggota untuk me-liberalisasi sektor perdagangan, dan ini hanya menguntungkan negara maju. Secara ekonomi, kita sampai saat ini terjajah dari hulu ke hilir di segala bidang.

Pada buku ini, penulis juga menunjukan bagaimana industri rokok menjadi arena perang strategis kapitalisme. Dalam pemaparan yang terakhir, Waskito menyatakan bahwa dalam persoalan kretek atau tembakau, argumentasinya selalu disandarkan pada persoalan kesehatan. Namun justru ada penelitian-penelitian yang sebaliknya, bahwa tembakau juga memiliki kegunakan sebagai penyembuhan.

Sehingga kita harus skeptis dan kritis menyikapi kampanye anti tembakau ini, “Jangan hanya percaya begitu saja.” Waskito juga menyatakan bahwa modus ekspansi kapitalisme global yang dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional, menjadikan kesehatan tidak hanya sekedar sebagai alat, sekaligus sebagai muslihat perang dagang mereka.[]

Ideologi di Balik Rokokku

$
0
0

Seorang yang hingga umur 58 th tak pernah merokok, dan tiba-tiba merokok, jelas bukan karena salah pergaulan. Selama ini tak pernah ada yang salah dalam pergaulan saya. Para perobkok berat di antara kenalan, teman dan sahabat, maupun anak buah di kantor, tetap menjadi perokok berat dan saya tak terpengaruh, kecuali merasa sumpek dan panas.

Merokok tidak sehat. Merokok mempengaruhi kesehatan lingkungan. Merokok mencabik-cabik ekonomi perokok dari keluarga miskin. Merokok menyebabkan kanker, impotensi, merusak janin, sudah saya baca dengan sebaik-baiknya dan pesan terselubung agar orang tak merokok, saya taati. Di sana dengan sendirinya mungkin ada kebenaran. Jadi saya tak pernah berusaha untuk merasa tak setuju dengan anggapan-anggapan itu.

Tapi sesudah membaca tulisan Wanda Hamilton bahwa data yang diklaim sebagai kebenaran oleh para pejuang antri rokok dianggap tidak sahih, saya mulai terlibat dalam pemikiran tentang benar-salah di dalamnya. Dan ketika disebutkan bahwa yang terjadi di tengah gerakan anti rokok  itu sebenarnya perang bisnis yang tidak adil, saya memperkukuh pemikiran mengenai ketidakadilan ini sebagai bagian dari kekuatan sosial-ekonomi yang patut diperhatikan lebih seksama. Sikap tidak adil tak bisa dibiarkan begitu saja.

Kemudian ketika Bloomberg Inisiative mengumumkan bahwa lembaga itu menyeponsori ilmuwan, kaum profesional, lembaga penelitian, lembaga yang mengamati produk dan kenyamanan hidup masyarakat yang membelinya, juga, termasuk, menyeponsori lembaga keagamaan, agar membuat fatwa haram atas rokok, maka jelas bagi saya, bahwa ada sesuatu tingkah laku yang mencerminkan keserakahan global.

Banyak pihak dipengaruhi dengan duit. Para pejabat di Departemen, tingkat menteri, di bawah menteri, gubernur, bawahannya, bupati atau wali kota dan bawahan mereka, semua menjadi korban yang berbahagia, karena limpahan duit yang tak sedikit jumlahya untuk masing-masing pihak. Mereka menjadi korban kecil, karena harus membuat aturan dan sejumlah larangan merokok, yang mungkin tak sepenuhnya cocok dengan hati nurani.

Tapi apa artinya hati nurani di jaman edan ini dibanding duit melimpah? Para pejabat itu rela membunuh hati nurani mereka sendiri demi duit. Dan sayapun makin marah. Kemarahan itu makin jelas dan makin jelas bentuk ideologinya. Dengan begitu apa yang pribadi, bisa dikesampingkan.

Gerakan itu alur rasionya demi kesehatan lingkungan. Tapi tak tahukah mereka, bahwa di balik logika kesehatan itu ada keserakahan kaum kapitalis asing yang hendak menguasai bisnis global di bidang kretek? Kretek kita sangat khas. Dan di negeri orang bule, kretek kita mengantam telak perdagangan rokok putih mereka. Kretek unggul. Dan karena itu mereka berhitung bagaimana kretek bisa mereka caplok.

Djie Sam Su Sampoerna sudah dikuasai Phlilip Morris. Bentul sudah dikuasai BAT, yang sejak puluhan tahun lalu hendak mencaplok kretek kita.  Pada mulanya saya bergabung dengan asosiasi Petani Tembakau (APTI) Jawa Tengah, sebagai penasihat para pengurusnya. Saya wira wiri ke daerah tiga gunung: Sumbing, Sindoro, Perahu. Sambil melakukan penelitian, saya juga melakukan advokasi, membela para petani tadi.

Tapi persoalan berkembang sangat cepat. DPR menyusun RUU. Pemerintah menyusun RPP. Intinya hendak membunuh kretek. Dan petani dipaksa melakukan alih fungsi lahan, untuk bercocok tanam selain tembakau. Ini sudah  merupakan kekerasan dan pelanggaran hak hidup yang luar biasa, karena pengaruh para kapitalis asing makin besar.
Bagi saya, mereka bukan lagi kapitalis, melainkan kapitalis yang serakah sekaligus kolonialis dan imperialis. Kapitalis silahkan saja berebut lahan bisnis dan melakukan perang bisnis secara fair, terbuka, dengan semangat kompetisi bebas yang dibangggakan Amerika Serikat. Tapi bukan kompetisi bukan perang dagang yang terjadi. Semangat kaum penjajah seperti di zaman VOC dulu, lahir kembali dalam bentuk baru.

Dengan memperalat –atau mungkin kerjasama—dengan  pejabat, aktivis, kaum profesional, ilmuwan dan kaum rohaniwan yang bekerja di lembaga keagamaan—langkah mereka menjadi makin kukuh. Dan saya pun makin gigih melakukan perlawanan dengan tulisan.

Sebagai warga negara Indonesia, yang hidup di sini, makin dan tenteram di sini, relakah saya membiarkan orang asing berjumpalitan membunuh bisinis bangsa kita sendiri? Saya tidak rela. Melihat kaum profesional, aktivis, ilmuwan, rohaniwan, teman-teman saya dijerumuskan ke jurang kehinaan macam itu, haruskah saya diam? Saya tidak rela.
Tapi apakah dengan begitu saya tak sadar telah membela kapitalis? Saya membela kapitalis Indonesia yang membayar pajak untuk negeri kita, yang memberi lapangan kerja bagi bangsa kita, yang membayar banyak pungutan, dan hitunglah cukai yang enam puluh lima trilliun itu, semua untuk Indonesia. Kalau saya membela mereka, dan melawan kapitalis yang sekaligus kolonialis dan imperialis, apa yang salah?

Saya membela petani. Saya membela pabrik,  dan semuanya demi melawan kolonialis dan imperialias yang kejam, dan menghancurkan kehidupan bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin. Efek kolonialisasi dalam jiwa bangsa kita belum sembuh. Kita masih merasa minder pada bangsa Barat. Kita masih menganggap mereka suri teladan mulia.
Tak ada kemuliaan bagi penjajah. Negeri kita hancur karena mereka. Kita diadu domba karena duit. Kita bertengkar karena alasan palsu. Keuntungan ada di kaum kolonialis. Dan saya waspada. Ideologi melawan kaum kolonialis dan ipmerialis menggumpal dalam diri saya.

Lalu muncullah sebuah penelitian ilmiah Prof. Sutiman, ahli biologi, dari Universitas Brawijaya, Malang, yang mengembangkan penelitian bertahun-tahun sebelumnya, yang dilakukan Dr. Gretha Zahar. Ibu Gretha, ahli fisika yang gigih menolong para penderita kanker yang tak sembuh di rumah sakit. Di tangan beliau mereka sembuh. Juga isteri Prof. Sutiman yang menderita kanker payudara.

Maka, sejak itu  Prof. Sutiman, ahli biologi itu lalu  melakukan penelitian laboratorium dengan temuan mengejutkan: bahwa kretek itu sehat. Ibu Gretha memproduksi kretek sehat itu buat penyembuhan para pasien. Kretek itu disebut Divine Kretek. Isinya protein, asam amino dan banyak zat bagus lainnya. Asam amino mengganti sel-sel tubuh yang mati. Membuat kita, yang sudah degeneratif, menjadi regeneratif lagi.

Dan saya pun merokok pada usia 58 tahun lebih beberapa bulan. Saya merokok karena ideologi yang saya sebutkan di atas.

Sumber

Mohamad Sobary

Peneliti LIPI dan penulis di berbagai media massa.

Smoking is Allowed : A Case Study of Poster as Counter Hegemony

$
0
0

Boleh MerokokHarry Jamieson defined visual communication as any visual arts on any media by presenting visual images (Jamieson, 2007 : 10). Visual communication varies from advertising on mass media, photographs, paintings, and alternative media in a form of graffiti for the example. Poster is another example of below-the-line media or an alternative media . Poster is a form of visual communication to express an idea, an ideology, or even more as a form of rebellion. Some idea of counter hegemony or counter culture  are expressed through posters on the public sphere walls.

I found a good example of a counter hegemonic poster at Gubeng Station, Surabaya. There was a poster at that train station of the East Java province capital written “Boleh Merokok. Merokok adalah aktivitas legal yang dilindungi undang-undang”. In English it says “Smoking is Allowed. Smoking is a legal activity protected by the law”. That poster is on a wall near the smoking area. Now allow me to do a cultural studies analysis in semiotic way about that poster.

Like an academic writing, let’s start this matter with a question : How the “Smoking Allowed” poster is symbolically counter hegemonic to the dominant discourse anti smoking discourse?

Why do I propose that poster as a counter hegemony? First of all, let me remind and recall you of any information we used to read and hear from common science and knowledge about smoking. “Smoking Kills” an ad says. A lot of social advertisements, articles on print media, and programs on TV say how smoking is dangerous for our health. Many medical reports say that smoking causes cancers and becomes a catalyst of death. Those are popular information we get. That’s what we call the mainstream discourse. Foucault said that science and knowledge productively, actively, and more over subconsiously  become a controlling power inside ourselves. Common science and knowledge regulate our comprehension and our behaviour then we become disciplined for that discourse. That’s what Foucault said as disciplinary society (Eriyanto, 2011 : 66 – 67). We become disciplined about the restriction of smoking. Our lovers and family would say “Hey, smoking is not good. Watch that from the TV health program”; “Read this articles. Smoking will weaken your sexual performance”.  Those discourse in media become a hegemony of anti-smoking ideology from the power of health experts, medical institutions, and celebritious doctors.

While there are some individuals and communities that is contrary to the mainstream hegemonic culture. Their interests are oppositional to the dominant ideology. The counter hegemony  work is a struggle to the popular and existing dominant discourse (Louw, 2001 : 23). James Lull said that counter hegemony is a resistance to hegemony and opposing the ideological conversion through the alternative media with resistant or contradictory messages (Lull, 1995 : 39 – 40). The “Smoking Allowed” poster is a resistant expression to the dominant anti-smoking discourse.  So that poster is a counter hegemonic work.

I tried to do a simple visual methodology here. Visual methodology is a theoritical method to interpret visual images (Rose, 2002 : 2). There are two methods to explore visual images : quantitative method using visual content analysis and qualitative method using semiology/semiotic or discourse analysis. I choose to use semiology/semiotics way to describe and to interpret the “Smoking Allowed” poster. Semiology/semiotics is an examination of how meanings in texts are constructed through the arrangement of signs and the use of cultural codes (Williams, 2003 : 155). For the sake of “Smoking Allowed as a counter hegemony” to be the ideological base for the symbolic interpretation, I use Barthes’ semiotics as the visual analysis. Semiotics of Roland Barthes reads signs and texts by denotation (a pure readible or visible signs), connotation (wider and unseen meaning), related to social and cultural meaning (myth) (Laughey, 2007 : 58). Further more about the myth, Willams mentioned that as an ideological representation (Williams, 2003 : 154).

Here is the visual analysis to the “Smoking Allowed” poster. Interpretation by numbers :

visual-method-a1. Denotation : Tobbaco leaves, clove flowers, “Komunitas Kretek” text, all in white colour. Connotation : The identity of the community with the sign of tobacco leaves and cloves means defining the word ‘kretek’. Kretek is a cigarette type that is made by the mix of tobacco and cloves. White colour represent the community is holy and clean. Not as dirty and sick as described in the mainstream anti smoking discourse.
2. Denotation : Green colour poster background. Connotation : green represents natural, fresh, and environment-friendly.  The philosophy of cigarette and smoking comes from the product of nature that are tobacco (and cloves for the kretek cigarette). Tobacco leaf is green. Maybe this is what the smokers feel when they smoke. They get a refreshment cognitively and affectively by smoking.
3. Denotation : A burnt cigarette and the smoke in white colour. Connotiation : Burnt cigarette and the smoke describing the activity of smoking. It represent the relation with the word ‘merokok’ which means smoking as a verb. It’s white means smoking is clean or OK or good. Not as dirty and sick as what the common science and knowledge talk about the dangerous smoking activity.
4. Denotation : “Boleh Merokok” headline text , in white colour. Connotation : “Boleh Merokok” (Smoking Allowed) represents an advise to smoke. It’s white means smoking is clean or OK or good. It is a from of head-to-head message to the common “Smoking Kills”, “Smoking causes cancer, heart attack, impotence, and endangers pregnancy”, “Smoking is destroying your lungs”, and any other titles or headlines about health advises. The headline “Boleh Merokok/Smoking Allowed” is a counter hegemonic message that opposes the anti smoking educating messages.
5. Denotation : “Merokok adalah aktivitas legal yang dilindungi Undang-undang” subheadline text in white colour. Connotation : The subheadline sentence “Merokok adalah aktivitas legal yang dilindungi Undang-undang” means “Smoking is a legal activity that is protected by the laws”. The community proposes the strength of the law or regulation about tobacco , tobacco industry, or the regulation about smoking area. Law and regulation are stronger and higher in the system of laws than just advises or health program socialization about stop smoking on the mass media.
6. Denotation : Twitter logo, @KomunitasKretek, green font on a white background. Connotation : Twitter account of the community as the existance of their identity. Written in a green letter font and a white background to describe how natural, friendly, and clean the community is.
7. Denotation : website www.komunitaskretek.co.id, white font and green background. Connotation :  website address of the community as the existance of their identity. Written in white letter font and green background to describe how natural, friendly, and clean the community is.

As the data interpretation of the poster signs, we can conclude that the green and white colours as a symbolic struggle to the mainstream anti smoking ideology. The texts are opposing directly to the anti smoking publicity. The symbol and name of Komunitas Kretek is the existing opposite to the dominant anti smoking bodies. The “Smoking Allowed” poster represents the counter hegemonic struggle to the dominant ideology of anti smoking movements.

This analysis has weakness. It might be too subjective. My analyses can be too exaggerating. I didn’t make any confirmation to the poster creator as the message producer. That’s the common limitation of classical or structuralist semiotics as the inquiry method of construtivism paradigm. By doing this small visual research I didn’t mean to make any defence to the anti smoking and health socialization program. It’s just an academic study about cultural studies and visual communication work.

References :

  • Eriyanto. (2011). Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LKiS.
  • Jamieson, Harry. (2007). Visual Communication : More Than Meets the Eye. Bristol – Chicago : Intellect.
  • Laughey, Dan. (2007). Key Themes in Media Theory. Berkshire : Open University Press.
  • Louw, P. Eric. (2001). The Media and Cultural Production. London : Sage.
  • Lull, James. (1995). Media Communication, Culture : A Global Approach. New York : Columbia Inversity Press.
  • Rose, Gillian. (2002). Visual Methodologies. London : Sage.
  • Williams, Kevin. (2003). Understanding Media Theory. London : Arnold.

Sumber

Oleh: Zakaria

10 Manfaat Rokok Bagi Kesehatan Manusia

$
0
0

research_2Anda pasti terkaget-kaget ketika membaca judul warta ini. Sama seperti terkejutnya saya ketika pertama kali membaca dari sumbernya. [1] Saya sadar informasi negatif tentang rokok dan kebiasaan merokok dijejalkan kepada kita sudah sejak lama. Sebagian besar menghubung-hubungkan dampak buruk asap rokok dan zat-zat yang terkandung di dalamnya terhadap kesehatan tubuh manusia. Informasi tersebut diterima oleh masyarakat luas yang awam mengenai riset dan penelitian sebagai kebenaran mutlak yang tidak perlu diperdebatkan.

Namun tidak demikian dengan para ilmuwan. Sesuai dengan bidang ilmunya mereka mengadakan penelitian seputar dampak rokok dan merokok bagi kesehatan dengan berangkat dari dasar pemikiran yang netral.  Mereka mencoba menggali adakah manfaat zat-zat yang terdapat di dalam sebatang rokok untuk kesehatan manusia, yang selama ini sudah diberi stigma negatif secara luas.

Warta ini tentu tidak bermaksud mengajak anda untuk mulai merokok atau meneruskan kebiasaan anda mengisap asap tembakau. Tetapi adalah hak anda untuk percaya atau tidak bahwa nikotin dan zat-zat lain yang juga berasal dari alam dan berada di dalam rokok juga mempunyai kegunaan.

Berikut beberapa riset yang menguak manfaat rokok bagi kesehatan manusia. Saya bukan seorang dokter atau peneliti bidang kesehatan, jadi pembahasan ilmiah tentang isi warta ini bisa diperdebatkan oleh para pakar sendiri.

1. Merokok Mengurangi Resiko Parkinson

Banyak bukti yang menunjukkan bahwa merokok melawan penyakit Parkinson. Sebuah penelitian terbaru menambah kuat bukti sebelumnya yang melaporkan bahwa merokok dapat melindungi manusia dari penyakit Parkinson.  Secara khusus, penelitian baru tersebut menunjukkan hubungan temporal antara kebiasaan merokok dan berkurangnya risiko penyakit Parkinson.  Artinya, efek perlindungan terhadap Parkinson berkurang setelah perokok menghentikan kebiasaan merokoknya. [2]

Studi lain mengenai pengaruh positif merokok terhadap Parkinson Desease (PD) adalah sebuah penelitian terhadap 113 pasangan kembar laki-laki. Tim peneliti yang dipimpin oleh Dr Tanner terus melihat perbedaan yang signifikan ketika dosis dihitung sampai 10 atau 20 tahun sebelum diagnosis.  Mereka menyimpulkan bahwa temuan ini menyangkal pernyataan bahwa orang yang merokok cenderung memiliki PD. [3] Masih banyak penelitian yang lainnya mengenai kebiasaan merokok yang berguna melawan Parkinson. [4]

2. Perokok lebih kuat dan cepat sembuh dari serangan jantung dan stroke

Penelitian besar menunjukkan manfaat lain merokok, yakni manfaat terhadap restenosis atau penyempitan pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah menjadi terbatas, seperti pembuluh darah ke jantung (cardiovaskular disease) atau ke otak (stroke)  Perokok memiliki kesempatan yang lebih baik untuk bertahan hidup dan penyembuhan yang lebih cepat. [5]

Penelitian lain menyebutkan krbon mnoksida dapat mengurangi serangan jantung dan stroke.  Karbon monoksida merupakan produk sampingan dari asap tembakau.  Sebuah laporan menunjukkan tingkat sangat rendah dari karbon monoksida dapat membantu para korban serangan jantung dan stroke.  Karbon monoksida menghambat pembekuan darah, sehingga melarutkan gumpalan berbahaya di pembuluh arteri.  Para peneliti memfokuskan pada kemiripan yang dekat antara karbon monoksida dengan oksida nitrat yang menjaga pembuluh darah tetap melebar dan mencegah penumpukan sel darah putih.  Baru-baru ini oksida nitrat telah ditingkatkan statusnya dari polutan udara biasa menjadi penghubung fisiologis terpenting kedua secara internal.  Oleh karena itu tidak akan mengherankan kalau karbon monoksida secara paradoks dapat menyelamatkan paru-paru dari cedera akibat penyumbatan pembuluh darah ke jantung (cardiovascular blockage).[6]

3. Merokok mengurangi resiko penyakit susut gusi yang parah

Dulu disebutkan bahwa tembakau adalah akar semua permasalahan penyakit gigi dan mulut.  Padahal sebuah studi menunjukkan bahwa sebenarnya perokok berisiko lebih rendah terhadap penyakit gusi. [7]

4. Merokok mencegah asma dan penyakit karena alergi lainnya

Sebuah studi dari dua generasi penduduk Swedia menunjukkan dalam analisis multi variasi, beberapa anak dari para ibu yang merokok sedikitnya 15 batang sehari cenderung memiliki peluang yang lebih rendah untuk menderita alergi rhino-conjunctivitis, asma alergi, eksim atopik dan alergi makanan, dibandingkan dengan anak-anak dari para ibu yang tidak pernah merokok.  Anak-anak dari ayah yang merokok sedikitnya 15 batang rokok sehari memiliki kecenderungan yang sama. [8]

5. Nikotin membunuh kuman penyebab tuberculosis (TBC)

Suatu hari Nikotin mungkin menjadi alternatif yang mengejutkan sebagai obat TBC yang susah diobati, kata seorang peneliti dari University of Central Florida (UCF).  Senyawa ini menghentikan pertumbuhan kuman TBC dalam sebuah tes laboratorium, bahkan bila digunakan dalam jumlah kecil saja, kata Saleh Naser, seorang profesor mikrobiologi dan biologi molekuler di UCF. Kebanyakan ilmuwan setuju bahwa nikotin adalah zat yang menyebabkan orang menjadi kecanduan rokok. [9]

6. Merokok mencegah kanker kulit yang langka

Seorang peneliti pada National Cancer Institute berpendapat bahwa merokok dapat mencegah pengembangan kanker kulit yang menimpa terutama orang tua di Mediterania wilayah Italia Selatan, Yunani dan Israel.  Bukan berarti merokok disarankan untuk populasi itu, kata Dr James Goedert, namun yang penting adalah merokok tembakau dapat membantu untuk mencegah kanker yang langka bentuk. Dan ini adalah sebuah pengakuan dari peneliti di National Cancer Institute bahwa ada manfaat dari rokok. [10]

7. Merokok mengurangi resiko terkena kanker payudara

Sebuah penelitian baru dalam jurnal dari National Cancer Institute (20 Mei 1998) melaporkan bahwa pembawa mutasi gen tertentu (yang cenderung sebagai pembawa kanker payudara), yang merokok selama lebih dari 4 pak tahun (yaitu, jumlah pak per hari dikalikan dengan jumlah lamanya tahun merokok) menurut statistik ternyata mengalami penurunan signifikan sebesar 54 persen dalam insiden kanker payudara bila dibandingkan dengan pembawa yang tidak pernah merokok.  Salah satu kekuatan dari penelitian ini adalah bahwa penurunan insiden melebihi ambang 50 persen. [11]

8. Nitrat Oksida dalam nikotin mengurangi radang usus besar

Nikotin mengurangi aktivitas otot melingkar, terutama melalui pelepasan nitrat oksida, dalam kasus ulcerative colitis (UC) atau radang usus. Temuan ini dapat menjelaskan beberapa terapi manfaat dari nikotin (dan merokok) terhadap UC dan dapat menjelaskan mengenai disfungsi penggerak kolon pada penyakit aktif. [12]

9. Efek transdermal nikotin pada kinerja kognitif (berpikir) penderita Down Syndrome

Sebuah penelitian mengenai pengaruh rangsangan nikotin-agonis dengan 5 mg jaringan kulit implan, dibandingkan dengan plasebo (obat kontrol), pada kinerja kognitif pada lima orang dewasa dengan gangguan.  Perbaikan kemungkinan berhubungan dengan perhatian dan pengolahan informasi yang terlihat pada pasien Down Syndrom dibandingkan dengan kontrol kesehatannya. [13]

Down syndrome adalah penyakit yang disebabkan adanya kelainan pada kromosom 21 pada pita q22 gen SLC5A3, yang dapat dikenal dengan melihat manifestasi klinis yang cukup khas. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down. [14]

10. Merokok baik bagi ibu hamil untuk mencegah hipertensi di masa kehamilan dan penularan ibu-anak infeksi Helicobacter pylori

Konsentrasi urin cotinine (tembakau yang bermetabolis di dalam tubuh) mengkonfirmasi berkurangnya risiko Preeklamsia dengan paparan tembakau Eksposur.  Preeklamsia adalah kondisi medis di mana hipertensi muncul dalam kehamilan (kehamilan dengan hipertensi) yang bekerjasama dengan sejumlah besar protein dalam urin.  Studi ini, meskipun kecil, menunjukkan salah satu manfaat dari merokok selama kehamilan. “Temuan ini, diperoleh dengan menggunakan uji laboratorium, mengkonfirmasi penurunan risiko preeklamsia berkembang dengan paparan tembakau (Am J Obstet Gynecol 1999;. 181:1192-6.)  [15]

Sebuah penelitian lain menemukan hubungan terbalik yang kuat antara ibu yang merokok ibu dan infeksi Helicobacter pylori di antara anak-anak prasekolah, di mana ditunjukkan kemungkinan bahwa penularan ibu-anak berupa infeksi mungkin kurang efisien jika ibu merokok.  Untuk mengevaluasi hipotesis ini lebih lanjut, dilakukan studi berbasis populasi di mana infeksi H. pylori diukur dengan 13C-urea breath test (tes kandungan urea pada nafas) dalam 947 anak-anak prasekolah dan ibu-ibu mereka.  Kami memperoleh informasi rinci tentang faktor-faktor risiko potensial untuk infeksi, termasuk ibu merokok, dengan menggunakan kuesioner standar.  Secara keseluruhan, 9,8% (93 dari 947) dari anak-anak dan 34,7% (329 dari 947) dari ibu-ibu telah terinfeksi.  Prevalensi (rasio jumlah kejadian penyakit dengan unit pada populasi beresiko) infeksi jauh lebih rendah di antara anak-anak dari ibu yang tidak terinfeksi (1,9%) dibandingkan pada anak-anak dari ibu yang terinfeksi (24,7%).  Ada hubungan terbalik yang kuat infeksi anak-anak dengan ibu yang merokok (odds rasio atau penyimpangan disesuaikan = 0,24; interval kepercayaan 95% = 0,12-0,49) di antara anak-anak dari ibu yang terinfeksi, tetapi tidak di antara anak-anak dari ibu yang terinfeksi.  Hasil ini mendukung hipotesis dari peran utama untuk penularan ibu-anak berupa infeksi H. pylori, yang mungkin menjadi kurang efisien jika si ibu merokok. [16]

Barangkali anda mencurigai bahwa riset-riset ini didanai oleh perusahaan rokok. Tapi riset-riset ini tidak pernah dipublikasikan secara meluas, kalau memang bertujuan mendukung promosi rokok. Sedangkan informasi ilmiah mengenai bahaya merokok sangat dominan. Sebetulnya propaganda anti-rokok inilah yang perlu dicurigai sebagai upaya mendongkrak penjualan obat-obatan dari perusahaan farmasi. Wallahua’lam.[]

Referensi:

  • [1] http://www.forces.org/evidence/evid/therap.htm
  • [2] http://www.data-yard.net/10v2/parkinson.htm
  • [3] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11865136
  • [4] http://www.forces.org/evidence/carol/carol36.htm
  • [5] http://85.18.251.150/34/circulation_2001_104_773.htm
  • [6] http://www.data-yard.net/10b/cm.htm
  • [7] http://www.data-yard.net/10o/gums.htm
  • [8] http://www.data-yard.net/30/asthma.htm
  • [9] http://www.data-yard.net/10c/nicotine.htm
  • [10] http://www.data-yard.net/10b/kaposi.htm
  • [11] http://www.forces.org/evidence/files/brea.htm
  • [12] http://www.data-yard.net/22/ncbi.htm
  • [13] http://www.data-yard.net/13/tlj.htm
  • [14] http://id.wikipedia.org/wiki/Sindrom_down
  • [15] http://www.data-yard.net/2/13/ajog.htm
  • [16] http://www.forces.org/evidence/evid/preg.htm

Sumber: Wikimu, diposting juga di akbidibrahimy.ac.id

Oleh: Abdullah Ibnu Ahmad

“Cethe”, Seni Melukis Unik dengan Bubuk Kopi

$
0
0

cetheSatu lagi sebuah tradisi khas yang dimiliki Indonesia, dan sepertinya hanya negeri kita yang punya kebiasaan unik ini. Sebuah tradisi yang mudah dijumpai di Jawa Timur, terutama Kabupaten Tulungagung. Tradisi itu bernama seni Cethe, yakni melukis rokok dengan menggunakan media bubuk kopi.

Tidak semua orang punya keahlian untuk melakukan Cethe, apalagi mengingat media yang digunakan sangat sulit. Media lukis berupa kertas batangan rokok yang tergolong tipis dan halus menjadi tantangan tersendiri bagi para pecinta Cethe. Begitu pula bubuk kopi yang digunakan pun dirancang khusus. Pengolahan kopi perlu dilakukan oleh tangan-tangan khusus agar bisa menghasilkan bubuk yang sangat halus dan kental.

Di Kabupaten Tulungagung, sebagai salah satu sentra kopi, terdapat banyak jenis bubuk kopi yang bisa dijadikan untuk bahan bermain Cethe. Masyarakat Tulungagung menyebut bubuk kopi ini dengan sebutan “wedang kopi cethe”, sebuah nama yang disematkan karena kopi itu kerap dipakai untuk Cethe. Biasanya para pengolah kopi ini mencapurkan banyak bahan-bahan tertentu yang tentunya menjadi rahasia para pemilik kedai kopi. Sebagian masyarakat menyebutnya dengan kopi ijo atau kopi hijau, bubuk kopi ini memang sangat halus dan sedikit berwarna hijau.

Cara nyethe, sebutan untuk kegiatan Cethe,  ini bervariasi. Salah satunya yakni dengan mengendapkan dahulu kopi yang sudah dibuat didalam gelas atau cangkir kecil sampai ampasnya benar-benar mengendap.  Setelah ampas kopi mengendap, sedikit demi sedikit kopi dituang pada gelas lainnya, dengan tujuan untuk mendapatkan endapan ampas kopi yang sempurna (halus dan banyak).  Selain cara itu, Nyete juga bisa dilakukan dengan cara mengendapkan air kopi di lepek (piring kecil), kemudian genangan kopi dikeringkan dengan menggunakan tisu, sehingga hasil endapan bisa didapatkan dengan baik.

Setelah endapan terkumpul, para pecinta Cethe melukiskan endapan tersebut dengan bantuan batang korek api kayu, atau dengan tusuk gigi. Bahan yang runcing dan halus memang dibutuhkan untuk mendapatkan goresan yang bagus. Endapan yang sudah diambil dengan batang tusuk gigi tersebut dioleskan atau dilukis diatas media kertas pada batang rokok, disinilah seni lukis Cethe mulai dilakukan. Lukisan yang dibuat kerap berbentuk semacam motif batik, tulisan, bahkan sampai bentuk realis wajah. Sungguh tradisi yang benar-benar imajinatif dan butuh ketelitian. Karena media yang digunakan kecil dan halus, bertindak kasar sedikit akan merobek kertas media Cethe.

Seusai pelukis Cethe menyelesaikan membuat gambar, kemudian rokok itu dikeringkan dahulu sampai endapan kopi yang digunakan untuk menggambar benar-benar kering, dalam artian tidak ada sisa air pada endapan bubuk kopi tersebut. Butuh ketelatenan yang tinggi demi mendapat hasil maksimal.

Tradisi ini sangat mudah dijumpai di Tulungagung, bahkan beberapa waktu sempat diadakan pula festival Nyethe, atau perlombaan untuk mencari hasil Cethe terbagus. Tradisi negeri Kita memang terkenal unik dan beragam, kelestarian adat budaya masyarakat yang khas menjadikan Indonesia sebagai Negara beribu-ribu budaya. Kekayaan ini bernilai mahal, dan masyarakat Indonesia sendiri yang perlu menjaga dan melestarikannya. Semoga jaya selalu Indonesiaku.

Sumber

 

Oleh: Nanok

Terimakasih Bung Beno Widodo

$
0
0

Beno WidodoMungkin hanya ucapan terimakasih yang bisa kami sampaikan kepada beliau. Karena dalam masa perjalanan perjuanganya, pernah hadir dalam barisan kami untuk menyelamatkan kretek dan menyelamatkan Indonesia. 

Awal mula pertemuan kami, sekitar bulan Juni 2011. Pada saat itu, ada sebuah rencana aksi yang akan dilakukan oleh Komunitas Kretek bersama dengan ribuan petani tembakau di Jakarta. Konfederasi KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia), ikut serta dalam koalisi untuk mengorganisir aksi tersebut. Beno Widodo, adalah salah satu perwakilan dari KASBI yang kerap kali hadir dalam rapat-rapat persiapannya. Sampai pada akhirnya aksi tersebut sukses terlaksana pada tanggal 13 juli 2011. Lalu dalam sebuah konsolidasi lintas sektoral di Yogyakarta, beliau hadir sebagai perwakilan organisasi untuk konsolidasi tersebut, yang kemudian kami beri nama Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek. Desember 2011, sebuah rencana aksi besar petani tembakau di 4 kota di Jawa Tengah, juga menjadi bagian dari kebersamaan perjuangan kami dengan beliau. Sebuah pemogokan petani dalam merespon rencana pemerintah mengeluarkan RPP Tembakau. Beliau hadir sebagai koordinator deployment, untuk memastikan bala tentara kretek lancar dalam mempersiapkan aksi di 4 kota tersebut.

Sayangnya, itulah kerbersamaan terakhir kami. Belum sempat lagi kami bersua denganya, walau hanya untuk sekedar berbincang diantara kopi hitam dan kretek filter kesukaanya.

Terlalu singkat. Karena November 2013 beliau sudah pergi. Meninggalkan sebuah pengalaman yang menjadi pembelajaran. Bahwa dalam sebuah perjuangan, tak pernah ada kata lelah, tak pernah ada kata melemah, tak pernah ada kata menyerah.

Beno Widodo nama lengkapnya. Biasa dipanggil Beno. Sebelum beliau menjadi pimpinan serikat buruh, dan mengabdikan hidupnya untuk perjuangan buruh, beliau bekerja disebuah pabrik textile besar di Bandung, Jawa Barat. Mimpinya tinggi, ingin menjadikan buruh sebagai sebuah kelas yang berkuasa di negeri ini. Kerjanya keras dalam mewujudkan mimpi itu. Ayah dari seorang anak bernama Bagas, yang disetiap kesempatan bercerita, maka hanya kebanggaan demi kebanggaan yang ia ceritakan tentang Bagas, yang saat ini telah memasuki jenjang sekolah menengah pertama.

Sosoknya sederhana, tak pernah tergiur dengan kemewahan. Canda-candanya selalu hadir disetiap keramaian perbincangan. Semangatnya terasa menggebu, disetiap pandanganya pada berbagai diskusi tentang perjuangan. Kekonyolan tingkah lakunya, akan teriringi dengan gelak tawa. Keberanianya membawa teladan bagi setiap orang yang ada disampingnya. Itulah yang akan kami rindukan darinya.

Mungkin butuh ribuan halaman jika harus menulis cerita tentang dia. Karena terlalu banyak apa yang telah dia lakukan bagi umat manusia. Terlalu besar jalan perjuanganya untuk kami ceritakan dalam beberapa paragraf. Namun kami yakin, sembari tersenyum, tulisan kecil ini akan dia baca disana. Lalu akan dia simpan sebagai sebuah cinderamata.

Sekali lagi, kami ucapkan terimakasih kepada beliau, yang telah berbagi bersama kami dalam mengarungi medan perjuangan ini. Apa yang telah beliau berikan, akan menjadi sebuah pengalaman dan kenangan dalam sejarah perjuangan kami.

Terimakasih bung Beno Widodo, telah bersama kami dalam perjalanan perjuangan hidup anda. Selamat Jalan.

 

Komunitas Kretek

13 November 2012

Menafsirkan Uskup Soegija Merokok

$
0
0

soegija_1Tak sedikit umat Katolik protes setelah menyaksikan film dokumenter ”Soegija”. Salah satu sekuel film besutan Garin Nugroho itu menampilkan sosok uskup pribumi pertama Indonesia, Mgr Soegijapranata, menikmati rokok yang diisapnya secara presisi. Mereka protes mendasarkan pertimbangan bahwa tubuh manusia adalah tahta Tuhan, tak boleh dicemari rokok. Mengapa Uskup Soegija dalam kapasitas sebagai pemimpin umat Katolik melakukan hal itu?

Soegija merokok berarti melanggar spirit pro-life sebagaimana berlaku bagi agamanya. Salahkah itu? Rasanya tidak bisa hitam putih untuk menyalahkan atau membenarkan. Tapi dari sisi film dokumentatif, memang seharusnya apa adanya. Di negara Barat merokok di tempat umum dilarang, iklan jauh lebih ketat namun kita begitu mudah melihat film Barat yang sering sekali menampilkan orang merokok.

Stigma buruk terhadap rokok, khususnya keretek, lebih sebagai strategi agenda pengendalian tembakau lewat regulasi tembakau Indonesia, menyusul momentum kampanye global antitembakau. Gerakan ini melibatkan tokoh internasional yang juga Wali Kota New York Michael Bloomberg melalui program Bloomberg Initiative to Reduce Tobacco Use.

Tahun 2006 Bloomberg mengucurkan dana 125 juta dolar AS mendukung WHO dan gerakan antitembakau lain, untuk mendesakkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di seluruh dunia. Dua tahun kemudian, 250 juta dolar AS kembali digelontorkan, dan mendapat sokongan 125 juta dolar dari Bill Gates, mengalir ke berbagai kelompok dan lembaga di Indonesia, di antaranya Indonesian Forum of Parliamentarians on Population and Development (IFPPD).

Ratifikasi FCTC adalah amunisi perang global antitembakau untuk menggoyang industri rokok Indonesia guna menurunkan tingkat kompetisi dan membuka peluang baru bagi gerakan konsolidasi industri tembakau global yang diwakili kekuatan tertentu, seperti Philip Morris International, British American Tobacco, Imperials Tobacco, Japan Tobacco, dan Korea Tobacco & Ginseng (KT&G).

Propaganda antitembakau yang dimotori AS, ditujukan untuk pengendalian industri keretek. Kampanye ini tak lebih retorika memanfaatkan ketergantungan publik terhadap otoritas kesehatan. Tujuannya menciptakan rasa takut dari teror bahaya rokok terhadap kesehatan. Teror menciptakan peluang memassalkan produk Nicotine Replacement Therapy (NRT) seperti nikotin sintetis secara masif lewat industri transnasional farmasi/ MNC. Tujuannya, menciptakan kendali potensi keuntungan miliaran dolar per tahun dari industri tembakau kita.

Cagar Budaya

Gambarannya jelas. Indonesia termasuk 10 besar negara produsen tembakau, dengan produksi 120 ribu ton per tahun, dan peringkat 1 produsen cengkih dunia dengan 50 ribu ton per tahun, menguasai 60% pasokan dunia. Tradisi ramuan cengkih dan tembakau hanya ditemukan di Indonesia sehingga menjadikan rokok kretek sebagai produk khas. Dengan kata lain, keretek sebagai salah satu identitas khas Indonesia bukan saja merupakan hak sejarah melainkan juga hak alam. Keretek telah menjadi cagar budaya (heritage) bangsa kita, keberadaannya harus dijaga.

Sebanyak 90% pendapatan cukai diperoleh dari rokok. Cukai tahun 2011 mencapai Rp 62,759 triliun, menyumbang lebih dari 6% APBN 2011 yang dipatok Rp 1.169,9 triliun, jauh lebih besar ketimbang sumbangan dari industri pertambangan yang cuma Rp 13,77 triliun. Sebanyak 11 juta tenaga kerja dari hulu hingga hilir bekerja pada sektor produk rokok keretek.

Seandainya Romo Soegija hidup pada zaman sekarang, saya berpikir Beliau tetap mempertahankan kebiasaan merokok, tak peduli popularitasnya redup di kalangan umat yang kadung terkontaminasi pikiran bahwa rokok menodai tahta Tuhan.

Bukan saja Beliau siap bertukar nyawa melainkan lebih rela meninggalkan surga memilih mati dalam hening mengawal kedaulatan kretek dari nafsu serakah kapitalis dan pribumi pengkhianat, yang lupa bahwa keretek adalah identitas khas ibu pertiwi. []

Sumber

 

Petrus Widijantoro

Pemimpin Redaksi Majalah Psikologi Plus


Wong Cilik yang Dikorbankan

$
0
0

sobaryBadrul Munir menulis “Rokok dan Wong Cilik”, Kompas, Sabtu, 21 Juli 2012. Dia mengatakan saat ini ada 34 juta pekerja yang bersentuhan dengan industri rokok, baik langsung maupun tidak langsung.

Apabila industri rokok menurun,atau bahkan tutup,bisa dibayangkan berapa juta pengangguran baru yang muncul. Pemerintah mengeluarkan Rencana Peraturan tentang Pengendalian Dampak Tembakau, yang berpotensi mematikan industri rokok dan menimbulkan pengangguran baru.

Badrul menyanggah potensi negatif yang dikandung peraturan ini, dengan mengajukan pertanyaan: apakah selama ini industri tembakau (rokok) menguntungkan wong cilik? Dalam akhir tulisannya,dia menyimpulkan: alasan bahwa penolakan rancangan peraturan pemerintah tersebut akan merugikan wong cilik, hanya akal bulus para pengusaha rokok agar tidak rugi dalam industri asap maut tersebut.

Penelitian dilawan penelitian pula

Di tengah sikap tegas rezim penguasa,yang melihat bahwa secara ilmiah terbukti rokok hanya membawa bahaya,maka “ketegasan ilmiah” seperti itu mudah berubah menjadi “fanatisme ilmiah”.Terbukti, dalil dan argumen tentang rokok tak berubah: bahaya ya bahaya. Para dokter, dan ahli ahli dalam bidang lain yang mengkaji perkara ini, tahu bahwa bersikap fanatik terhadap suatu kebenaran bertentangan dengan etika maupun prinsip-prinsip ilmiah, yang selalu membuka peluang bahwa apa yang benar, teruji, dan mapan di suatu waktu boleh jadi bakal goyah oleh temuan baru yang bertentangan dengan kemapanan lama.

Eksperimen Dr. Gretha Zahar, ahli fisika, selama lebih dua puluh tahun bahwa rokok memiliki dimensi lain buat penyembuhan berbagai penyakit, dilecehkan oleh para ilmuwan, yang konon hidup demi kebenaran ilmiah. Prof. Sutiman Sumitro, ahli biologi dari Universitas Airlangga, yang bertahun- tahun menyelidiki kebenaran temuan Dr. Gretha dan mencatat prestasi gemilang hingga namanya melejit ke seluruh dunia berkat temuannya yang spektakuler, diremehkan dengan sikap apriori. Para ilmuwan, yang seharusnya terusik oleh “academic curiosity” yang sehat, segara tergerak untuk membuktikan apakah Prof Sutiman salah atau benar.

Tapi itu tak dilakukan dan tanggapan para ilmuwan itu hanya curiga, dan prasangka buruk. Kerja ilmiah harus ditolak, atau diakui kebenarannya, secara ilmiah pula. Penelitian seharusnya dilawan dengan penelitian pula. Para doktor, para ahli kesehatan masyarakat dan ahli disiplin lain, mengapa sudah puas dengan prasangka? Kedua tokoh ini harus dilawan secara ilmiah dengan kerendahan hati para “pencari” sejati. Sebelum temuan- temuan ilmiah ini dibantah secara ilmiah, batil bagi kita untuk membuat klaim lain. Bukakan perspektif publik dengan penelitian ilmiah, yang merupakan bahasa para ilmuwan.

Dengan begitu, wong cilik tak dibunuh dengan “kekuasaan” yang bersifat antidialog. Jangan lupa, sebelum peraturan pemerintah ini berlaku, kebijakan menaikkan cukai secara tak masuk akal telah berhasil membunuh tiga ratusan industri rumah tangga, pemodal kecil, yang memproduksi rokok. Mengapa ilmuwan bicara tentang wong cilik, tanpa memiliki empati pada wong cilik? Bagaimana cara menghayati dirinya sebagai kaum cendekiawan yang memanggul peran profetik dan kaum tertindas? Kini baru muncul jawaban, mengapa mereka membela kebijakan yang jelas mengorbankan warga negara yang seharusnya dilindungi.

Jangan korbankan wong cilik

Sudah disebut di atas, Badrul menyimpulkan penolakan atas rancangan peraturan pemerintah itu hanya akal bulus para pengusaha rokok. Ini kesimpulan berbahaya dan fatal bagi seorang ilmuwan. Dengan begini, Badrul meremehkan kesadaran kritis dan kapasitas para petani tembakau membaca arah kebijakan pemerintah. Para petani tembakau itu mendidih, tapi bersabar dalam penolakan mereka atas rencana peraturan tersebut. Mereka berpolitik secara canggih dan berusaha untuk tampil terhormat. Dan kemampuan mereka belajar dari pengalaman luar biasa mengagumkan.

Mereka sadar karena bagaimanapun yang dihadapi hanya pemerintah kita sendiri. Cara-cara yang dianggap sopan,dan tak memukul jiwa pejabat, diutamakan. Berdialog dengan pemerintah sendiri kurang lebih dianggap sama dengan berdialog dengan sesama anggota masyarakat dan keluarga. Saya peneliti, yang dengan serius dan berhati-hati selama dua tahun terakhir mengikuti gerakan petani tembakau Temanggung melakukan perlawanan secara terhormat. Mereka dipimpin tiga kepala desa yang sangat terpelajar. Para petani pun mulai makin sadar politik. Mereka berorganisasi secara modern.

Selain mendirikan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), mereka punya APTI lokal, Jawa Tengah, yang berfungsi sebagai roda penggerak kesadaran politik kaum tani, yang disebut wong cilik tadi. Mereka mendirikan Laskar Kretek sebagai benteng pertahanan, sebagaimana sejarah mencatat, generasi pendahulu mereka memiliki “Laskar Bambu Runcing”yang legendaris. Dalam masa dua tahun penelitian itu, saya juga mencatat bahwa para petani tembakau Temanggung meminta beasiswa kepada industri, buat anak-anak yang masih di SLA dan yang memasuki universitas.

Beasiswa itu mereka peroleh tanpa sikap “meminta-minta”, dan tak membuat satu pihak lebih rendah atau lebih tinggi dari yang lain. Kecuali itu,petani meminta agar industri memberi jaminan dan memperjuangkan para petani untuk memperoleh pinjaman bank. Pihak industri pun bersedia. Para petani memerlukan pinjaman sebesar Rp18 miliar. Pihak industri menyatakan, bila pinjaman di bawah ja-minannya tak diberikan maka dia sendirilah—yang sudah menyiapkan Rp20 miliar rupiah— yang akan memberikan pinjaman tersebut. Melihat ada penjamin tepercaya, bank tak merasa keberatan.

Saya melihat sendiri proses peminjaman di bank tersebut. Pada masa lalu, petani sulit memperoleh pinjaman dari industri. Itu pun ada unsur menjerat—yang jelas merugikan mereka. Dewasa ini urusan itu tidak sulit.“Mutual trust” antara kedua belah pihak terjaga baik. Saya bersaksi di sini demi kebenaran ilmiah,sebagai bentuk “jihad fi sabilillah” membela tiga ratusan industri rumah tangga yang sudah dikorbankan oleh para pejabat negara, didukung beberapa kalangan yang merasa bertindak “heroik”dalam penghancuran kehidupan para pengusaha kecil tersebut.

Seorang dokter yang sedang kuliah kembali, dan tidak tahu urusan lapangan, tidak selayaknya mengumumkan sikap dan pendiriannya kepada umum,melalui media besar, yang besar jangkauannya. Hal itu hanya akan berakibat mempermalukan diri sendiri. Apalagi jika di balik tulisan yang diumumkan lewat media besar itu terdapat suatu kepentingan, suatu ideologi, yang berseberangan dengan kepentingan orang-orang yang dikorbankan tersebut. Konspirasi dari kekuatan-kekuatan yang hendak menghancurkan tembakau, keretek, dan para pengusaha kecil di bidang keretek, memang kuat dan luar biasa besar dukungan dananya.

Maka, selanjutnya, konspirasi kekuatan-kekuatan besar itu tak bisa dibiarkan. Mereka harus dilawan, terutama demi untuk menjaga, agar wong cilik tak dikorbankan lagi semau-maunya, demi ego para pejabat dan para ilmuwan yang menutup diri dari kebenaran ini.

Sumber

 

MOHAMAD SOBARY

Budayawan dan Peneliti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Perawatan Gigi, Sirih, dan Tembakau

$
0
0

nginangTulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya tentang bagaimana saya melakukan uji coba penanggulangan secara alternatif setelah bolak balik ke dokter saya tetap belum puas dengan hasilnya.

Saya teringat sesepuh saya, Pak Tubagus Sapta Dewa. alm.  (dari Baduy),  usianya di atas 70 tahun tetapi giginya masih utuh. Suka dipamerkan ke saya sambil ngomong begini, “Nih neng, usia saya memang sudah tua, tapi gigi saya masih kuat”. Kemudian saya juga inget simbah-simbah saya yang sudah “sepuh” tapi giginya masih berbaris rapi tanpa lubang, dan masih nyaman makan keripik tempe. Ngiri banget gitu.

Beliau-beliau ini bercerita bahwa mereka melakukan tradisi nginang dan nyusur. Nginang adalah tradisi mengunyah sirih yang ditambahi dengan Njet (kapur). Sedangkan nyusur adalah mengisap sari tembakau. Persamaan keduanya adalah hanya menghisap sarinya saja, sedang sepah (sampahnya) dibuang.

Mengingat kondisi gigi saya sudah SOS, maka saya pun mempraktekkan kedua hal tersebut.  Sirih hijau tersedia di rumah, merambat di pagar tembok rumah. sedangkan untuk tembakaunya saya minta dari ibu saya, minta yang kualitas bagus, begitu pesan dari sesepuh yang suka nyusur.

Saya memilih dua pucuk daun sirih, saya tumpuk menjadi satu dan ditengahnya saya kasih njet sebesar butiran kacang tanah. Kemudian saya kunyah pakai gigi geraham. Ups, rasanya sepat sekali, ludah berwarna merah. Pesannya harus dihisap-hisap airnya saja. Alhasil pada percobaan pertama ini saya langsung menyemprotkan selang kran di depan rumah ke dalam mulut. Dan keluarlah semua sirih yang sudah berwarna merah bata. Hahahaha.. heran saya, bagaimana ya simbah-simbah itu bisa begitu nikmat menyirih.  Ternyata saya belum kapok juga, penasaran sama simbah-simbah yang merdeka dan bahagia sambil mengunyah sirih.  Saya ulangi hari berikutnya dengan dua helai pucuk daun sirih tanpa njet. Hasilnya saya sukses sampai akhir mengunyah daun sirih. Horeee, mukanya masih eneg. hihihi.

Efek samping nyirih adalah gigi saya agak berkurang ngilunya. Konon kandungan antibiotik di dalamnya mematikan kuman. Efek berikutnya adalah asam lambung saya tidak bermasalah lagi dan perut tidak mudah lapar. Setelah saya lihat, kandungan kapur mampu menetralkan asam lambung layaknya obat maag. Analoginya adalah sifat tanah untuk pertanian juga ditambah dengan tanah kapur atau gamping untuk menetralkan sifat asam. Kapur ini tidak berbahaya bagi kesehatan. Penggunaan kapur sirih untuk makanan adalah untuk pembuatan manisan. Buahnya sebelum dimasak direndam dulu sampai agak keras. demikian juga pembuatan keripik tempe.  Tempe direndam dengan  tepung yang diencerkan dengan kapur sirih.

Berbagi pengalaman berikutnya adalah nyusur, yaitu  menghisap sari tembakau. Pengalaman nyusur ini lebih heboh dari nginang atau nyirih. Saya menyiapkan tembakau sebesar bulatan kelereng. Pelan-pelan saya gosokkan ke gigi depan bagian luar, bergeser ke belakang ke bagian gigi geraham.  Saat mulai menyentuh geraham, dan bercampur dengan air ludah, busyeeet pahitnya minta ampuuun. Hueeekkk langsung saya buang. Ga sanggup. Pada saat yang sama terdengar  koor tawa anak-anak di belakang saya, merekadiam-diam mengikuti prosesi upacara nyusur untuk pertama kali. sumpah, kalau tembakau ini pahit. Dan kandungan getahnya membuat bibir saya agak sengar dan mati rasa sampai pagi berikutnya.

Efek nyusur lebih cespleng dari nginang. Ngilu gigi sensitif  berkurang banyak. Memang pahitnya membuat kepala pusing sekejap.  Tapi dari kasus ini saya punya sedikit pemahaman. Pada dasarnya nyusur itu bagus untuk kesehatan, karena nyusur itu adalah insektida alami yang bisa membunuh kuman daripada sirih. Pahitnya mantap, mampu membunuh kuman-kuman lainnya kali ya. Saya belum mempelajari lebih jauh, soalnya sehabis itu saya cuma beberapa kali nyusur, karena gigi saya sekarang sudah sembuh. Makanya orang-orang yang nginang dan nyusur lebih sehat daripada yang tidak. memang rasanya seru bener. Saat memulai bikin heboh.

Dalam dunia alternatif makanan dan minuman yang bersifat pahit dianggap mampu menyeleksi bakteri-bakteri yang tidak baik untuk tubuh. Kalau menurut bahasa pak Omri mampu membuat keseimbangan kandungan asam dan basa pada tubuh.

Sekarang sebagai perawatan saya cuma nginang aja, kebetulan daun sirih tersedia di halaman rumah saya. Sirih yang hijau gelap, katanya manis dibandingkan dengan sirih yang daunnya agak berwarna kuning. Tapi saya tetap sikat gigi, sehari sekali kalau pagi. Kalau malam tidak. untung ga punya suami. Kalau punya suami bisa perang dunia.[]

Sumber

Oleh Metik Marsiya

Kesederhanaan di Balik Kemewahan Petani Tembakau Temanggung

$
0
0

panen tembakauMendengar nama Temanggung, pasti yang terlintas adalah Tembakau. Tanaman asal Amerika Latin tersebut menjadi sumber hidup bagi petani di Kabupaten Temanggung. Tidak tanggung-tanggung, dengan tembakau mereka menjadikan pegangan hidup. Memang tidak bisa di pungkiri, jika tembakau Temanggung memiliki kualitas yang terbaik di Indonesia, bahkan dunia mengakuinya. Tembakau Temanggung ibarat, lauk pauk dalam sebuah hidangan, sedangkan nasinya adalah tembakau di luar Temanggung. Dengan asumsi budaya Jawa, bahwa yang namanya lauk jelas dengan porsi yang lebih sedikit.

Saat sampai di sebuah dusun Cepit, seluas mata memandang hanyalah tanaman Tembakau. Rumah bertingkat dengan halaman luas yang penuh dengan para-para penjemur Rigen menjadi ciri khasnya. Aroma pedesaan yang semerbak bau tembakau menambah ciri kuat sebagai daerah penghasil utama tembakau. Bulan Agustus-September adalah puncak panen tembakau, dan saatnya orang Temanggung sedang menuai emas hijau yang terhampar luas di ladang.

Memangnya berapa rupiah dari menanam Tembakau, jika anda sekilas melihat seolah tidak percaya apa yang sebenarnya terjadi. Puluhan hingga ratusan juta masuk di kantong saat panen berhasil, jika gagal maka hanya untuk menambal celah-celah lobang dari modal awal. Rumah yang sederhana, namun kokoh berdiri dengan 3 mobil bak terbuka berjajar, deretan sepeda motor bukanlah para tamu yang parkir, tetapi properti pribadi petani.

Suatu saat iseng diajak masuk di salah satu rumah penduduk. Di dalam rumah sudah berjajar keranjang-keranjang Tembakau siap kirim. Lantas terdengar suara, ”hanya laku 300 juta saja.” Suara dengan nada rendah dan sedikit serak seolah halilintar menyambar gendang telinga. Dari raut polos seorang ibu istri petani, hanya bilang kalaua tembakaunya cuma ditawar 300 juta dari 500 juta yang diajukan. Namun apa boleh buat, dengan 300 juta sudah bisa menutup modal awal sekiatar 100an juta lebih.

Sebuah pertanyaan muncul, uang sebanyak itu untuk beli apa? Kembali dengan jawan bernada serak, yang penting bisa buat beli beras dan pupuk untuk musim tanam selanjutnya. Sebuah permintaan yang sederhana, beli beras dan pupuk, tanpa berpikir beli televisi layar datar 60”, atau barang mewah selanjutnya. Jangankan barang mewah, biaya untu menyekolahkan anaknya ke luar negeri pun lebih dari cukup.

Pola sederhana dan bijaksana dalam menyikapi setiap untaian rejeki yang setiap setahun sekali di panen. Di sela-sela pembicaraan, bahkan ada yang bisa mengais uang mendekati satu miliar dari hasil tembakaunya. Sebuah harga yang fantastis untuk tanaman berumur 3 bulan atau 100 hari tersebut. Tidak heran banyak yang tergantung sepenuhnya pada Tembakau, walau terpaksa menyingkirkan tanaman lain. Tembakau memang tidak bisa dipisahkan dari masarakat Temanggung.

Menjadi pertanyaan sekarang, mengapa petani-petani di sana yang konon katanya memegang uang puluhan hingga ratusan juta rupiah seolah hidupnya tidak berubah. Bahkan desa yang menghasilkan uang miliaran rupiah dari emas hijau, masih seperti desa tertinggal dan dengan uang sebanyak itu bisa saja membangun perumahan sistem cluster atau apartemen mewah. Kembali pada budaya lokal, memang begitulah kehidupan mereka yang menganggap kekayaan bukan segala-galanya.

Bukan masalah mereka tidak menabung, investasi atau berbelanja, namun ada kebutuhan lain yang mereka anggap lebih penting dari sekedar hura-hura. Mereka tidak segan mengucurkan puluhan juta demi menanggap wayang atau tontonan sejenis. Mereka tak pelit untuk keluar biaya pesta rakyat, dari slametan hingga nyadran. Namun di situlah letak kearifan mereka dalam memanfaatkan kelimpahan sumber daya alam. Andakata mereka semua berubah menjadi manusia yang hedonisme, apakah masih ada yang mau keladang memikul pupuk, mencangkul dan merwat Tembakau, enakan di rumah dan berfoya-foya.

Panen bagi mereka bukan puncak dan akhir dari sebuah pesta, namun awal dari pesta itu sebenarnya. Hasil panen harus bisa di bagi mana untuk modal tanam, biaya perawatan, biaya hidup dan kebutuhan lain, hingga semua rata terpenuhi. Seolah tidak ada celah yang luput dari semprotan hasil panen dan semua rata kecipratan. Pola pikir yang sangat sederhana, tahun depan dan selanjutnya masih bisa panen. Hidup yang penuh pengharapan di balik kesederhanaan untuk menanam emas hijau dan menuai ratusan juta rupiah. Mungkin sepintas di wajah polos dan rumah sederhamana mereka masuk kategori keluarga miskin, namun jangan salah di saat pundi-pundi rupiah yang tersimpan di ladang siap didulang. Jangankan membeli motor, dealer pun bersiap-siap kehabisan stock, atau beli beras sambil naik mobil mewah. Memang itulah mereka dengan segala kearifan, kebijaksanaan dalam menyikapi sumberdaya alam dengan penuh kesederhanaan.[]

Sumber

 

Oleh Dhanang Dhave

 

 

Menguak Misteri Tembakau Srintil

$
0
0

srintil1Rasa penasaran tentang Tembakau Srintil yang menjadi primadona petani tembakau dan pabrik rokok, membawa langkah kaki ini menuju lereng Gunung Sumbing. 15 September 2011, menjelang malam menembus aspal selebar 3 meter untuk menuju di desa tertinggi di Gunung Sumbing Sisi Utara. Dukuh Cepit, Desa Pager Gunung, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah menjadi tujuan akhir perjalana kali ini. Semerbak bau tembakau begitu terasa menusuk hidung di balik kabut tipis yang mulai turun malam itu.

Kembali saya bertamu di rumah pak Manten (Mantan Kepala Desa) di dukuh Cepit, malam itu berjanji untuk meneruska obrolan pada minggu lalu. Perbicangan kali ini mencoba menguak lebih dalam tentang fenomena Pulung Setan dari Tembakau Srintil. Kebetulan perjalanan kali ini di temani oleh staf Dosen dan Mahasiswa dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga dan kebetulan mereka begitu intens untuk meneliti tembakau. Dengan adanya ujung tombak dari kaum akademisi, sehingga memudahkan untuk mengorek banyak informasi tentang tembakau Srintil.

Agak berat juga mencerna seorang Dosen dengan logat jawa yang kental berdiskusi dengan pak Manten dan beberapa tetangga yang menyemarakan obrolan malam itu. Diskusi kaum Akademisi versus praktisi dengan gaya idealis dan praktis, begitu saya meyebut diskusi malam itu. Sang Dosen degan bahasa ilmiah populer dan sangat luwes berkomunikasi dengan gaya pemikiran petani, sehingga terlihat begitu mengalir dan saling sambung menyambung, sehingga begitu hangatnya selalu disambut dengan gelak tawa dan seduhan teh trasan yang kental.

srintil4Sang staf dosen mencoba menjelaskan fenomena Tembakau Srintil secara mekanis. Ia berpendapat, pasti ada suatu sistem dan mekanisme bagaimana Tembakau Srintil terbentuk. Disisi lain petani beranggapan, tembakau Srintil adalah Pulung Setan. Pulung Setan yang berasal dari kata pulung yang berarti Keberuntungan dan Setan dimaknai dari kata Seto atau putih. Tembakau Srintil adalah sebuah keajaiban yang ditakdirkan oleh Sang Illahi dan tidak diketahui siapa yang beruntung kejatuhan ndaru. Mekanisme dan vitalisme hanyalah sebuah pendekatan untuk mencari sebuah kebenaran dengan cara dan sudut pandang masing-masing.

Sebuah analogi yang sederhana untuk menguak misteri Srintil, disaat tembakau Srintil diibaratkan Candi Borobudur. Sebuah candi dibangun dari sebuah kerangka dasar, lalu berundak dan bertingkat dari susunan bebatuan yang dibentuk sedemikian rupa, sehingga menjadi bangunan utuh. Demikia juga dengan Tembakau Srintil, memiliki fragmen-fragmen tersendiri untuk menjadi sebuah tembakau yang istimewa. Lantas apa saja potongan-potongan yang menjadi materi penyusun Tembakau Srintil?

Yang menjadi kerangka dasar adalah letak geografis. Fenomena Tembakau Srintil hanya ada satu-satunya di Indonesia, bahkan dunia. Lebih menyempit lagi, Tembakau Srintil hanya terdapat di sisi utara Gunung Sindoro dan Sumbing. Ketinggian lahan untuk tembakau Srintil biasanya terletak pada ketinggian 1800mdpl. Letak geografis adalah faktor pendukung utama, ketinggian tempat akan berpengaruh pada faktor lingkungan, seperti; suhu, kelembapan, intensitas cahaya, cuaca, dan lain sebagainya. Tidak heran apabila harga tanah ditempat-tempat yang berpotensi menghasilkan Tembakau Srintil memiliki harga jual dan sewa yang tinggi, bahkan per meter persegi sudah mencapai 500 ribu.

Beranjak menuju tingkatan di atas pondasi penyusun Tembakau Srintil, yakni dari sektor pertanian. Hanya jenis Tembakau (Nicotina Tabacum) varietas Kemloko yang bisa menjadi Srintil. Sejauh ini tidak ada petani yang mempunyai catatan atau rekaman dari awal hingga akhir, sehingga untuk melacak kembali hanya berdasarkan apa yang diingat saja. Tidak berbeda dengan tempat-tempat lain tentang bagaimana membudidayakan Tanaman Tembakau. Petani dengan diawali pengolahan tanah, pemupukan, penanaman, perawatan hingga pemanenan. Tidak ada yang bisa menduga tembakau mana yang akan menjadi Srintil, sehingga tidak ada yang istimewa dari budi dayanya. Tidak salah jika Tembakau Srintil dianggap Sebagai Pulung Setan.

srintil6Tingkatan fragmen Srintil semakin ke atas dan semakin mengerucut, dengan kajian yang lebih detail. Mengapa hanya pada daun D, E, F keatas atau daun pada bagian atas dari pohon Tembakau. Prinsip metabolisme menjawab fenomena ini, karena pada dauan bagiam atas aktivitas metabolisme lebih tinggi dibanding daun pada bagian bawah. Adanya aktivitas metabolisme yang tinggi konsekuensinya akan dihasilkan metabolit yang banyak, seperti; nikotin, klorofil, dan materi lain. Materi inilah yang nantinya menjadi faktor mengapa ada biokoversi menjadi Srintil.

Biokoversi pada daun tembakau tidak mungkin terlepas dari agen-agen biologis yang memiliki peran masing-masing. Ciri khas tembakau Srintil adalah pada di saat diperam 2-3 hari sudah busuk, sedangkan tembakau lain membutuhkan waktu lebih. Daun yang sudah layu, ada jamur berwarna kuning, berbau tajam seperti madu dan mengeluarkan cairan menjadi indikator terbentukya Tembakau Srintil. Agen biologis apa saja yang terlibat, sejauh ini yang sudah diketahui ada Jamur, khamir, dan mikroba. Menjadi tanda tanya sekarang adalah, apa peranan dari masing-masing agen biologis tersebut dalam mengkonversi materi-materi organik dalam daun tembakau. Bagaimana asosiasi dari mikroorganisme tersebut, apakah ada hubungan yang sinergis atau antagonis. Pertanyaan terakhir adalah apa saja metabolit yang mereka hasilkan sehingga terbentuk sebuah aroma, citarasa dari tembakau Srintil. Faktor lingkungan juga berperan dalam proses biokonversi tersebut, sehingga kompleks sekali untuk mensintesis Srintil.

Apakah fragmen puncak dari Srintil, menjadi pertanyaan pamungkas buat kaum mekanisme. Profil protein yang disintesis menjadi jawaban sebelum masuk pada faktor genetis dan ekpresinya. Profil protein akan menjelaskan materi apa saja yang terkandung dalam tembakau srintil, sehingga tidak mungkin jika dibuat sintetiknya. Terlepas dari protein, juga bisa dilihat apakah faktor genetis ikut andil dalam terjadinya fenomena Tembakau Srintil. Apabila faktor genetik berperan, maka akan dengan mudah membuat tembakau dengan variestas Srintil dengan GMO (Genetic Modified Organism).

Banyak sekali susunan bebatuan yang membentuk fragmen-fregmen Candi Srintil agar terbentuk bangunan yang utuh. Tidak sedikit kaum akademisi yang meneliti, namun dengan banyaknya variabel yang menyusun akan sangat susah menemukan benang merahnya. Para petani mungkin juga tidak berharap ditemukannya formula bagaimana terbentuknya tembakau Srintil, dan jika itu jatuh pada kaum kapitalis maka tamat sudah riwayat petani. Sangat realistis, apabila kaum vitalisme menganggap Srintil sebagai Pulung Setan atau takdir dari Sang Pencipta. Biarlah kaum akademisi menyikapi dari sudut pandannya dan petani degan apa yang diyakini.

Pembicaraan akhirnya berakhir seiring fajar menyingsing dan saatnya petani memulai perjudiannya dengan matahari agar tembakau lekas mengering. Rigen sudah di jajar rapi dalam para-para yang terletak dari area kebun, jalan raya hingga balkon rumah. Dukuh cepit penuh dengan warna cokelat yang membentang luas mengharap matahari bersinar dengan terik. Kesibukan tidak hanya saat menjemur, tetapi pada proses pembalikan tembakau yang sudah mengering. Konsep pegangan, warna dan aroma begitu melekat ibarat seorang quality control yang terus mengawasi kwalitas jemuran.

Akhirnya perjalanan untuk menguak tentang bagaimana Srintil itu ada berakhir sudah. Belum ada sebuah jawaban pasti tentang fenomena Tembakau Srintil. Kaum akademisi mencoba berbagai macam riset dan kaum praktisi yakni tetap dengan keyakinannya bahwa Tuhan pemberi rejeki. Kearifan lokan dan etika sains ditantang untuk menyikapi fenomena Tembakau Srintil yang misterius.[]

Sumber

 

Oleh Dhanang Dhave

PP Rokok Buka Celah Rokok Impor

$
0
0

pp-tembakau-terwujud130109cPP 109/2012 tentang Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan atau PP Rokok sudah disahkan presiden. Di luar masalah kesehatan, PP tersebut memiliki dampak yang luar bisa panjang bagi industri rokok. Mulai petani hingga pengusaha rokok.

Ketua Komunitas Kretek Abhisam D.M menegaskan, pemberlakuan PP Rokok tersebut tidak berarti menempatkan seorang perokok sebagai kriminil dan merokok tetap saja menjadi sebuah aktivitas legal. ”Sejak awal kita melihat semangat PP ini diskriminatif dan tendensius kepada rokok. Tentu kami menolaknya,” katanya.

PP Rokok memang memaktubkan banyak aturan baru pada industri rokok. Selain memperketat model pemasaran dan promosi produk rokok, PP tersebut juga mengatur hingga keberadaan pengguna rokok di tempat umum.

Menurutnya, PP Rokok muncul dengan merujuk pada UU No 36/2009 tentang Kesehatan tentang pengamanan terhadap zat adiktif. Pada pasal itu disebut tentang pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidakmengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.

Zat adiktif yang dimaksud meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas bersifat adiktif  serta penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau atau masyarakat sekelilingnya. Abhisam menyebut, tembakau bukan satu-satunya zat adiktif dan merugikan kesehatan. Batasan pada kadar berapa suatu zat bisa menjadi adiktif juga tak jelas. ”Bahan psikotropika dalam kadar tertentu bisa menjadi zat bermanfaat walaupun dalam dosis berbeda bisa menjadi sangat adiktif,” katanya.

Abhisam menyebut, dirinya tidak mau berpolemik. Namun, bukan mustahil PP Rokok akan dibawa ke Mahkamah Agung sebagai bentuk perlawanan. ”Kita masih ngitung apakah akan dibawa ke MA atau tidak mengingat langkah tersebut adalah salah satu upaya yang bisa dilakukan,” jelasnya. Penerapan PP ini dipastikan memberi dampak beruntun yang tidak sederhana. Pihak pertama yang terkena dampak langsung adalah mereka yang hidup dari industri rokok.

”Pabrik rokok dan semua yang hidup dari situ pasti terdampak. Lalu, dampak selanjutnya akan dirasakan petani tembakau dan terakhir adalah konsumen rokok,” tuturnya.

Abhisam menyebut, peraturan-peraturan tentang merokok dan produk tembakau bukan tidak mungkin akan memberi celah bagi banjirnya tembakau impor. Di luar persoalan itu, Abhisam menyebut saat ini bersama kawan-kawan sejalannya tengah giat mengampanyekan gerakan santun merokok dan labeling kawasan boleh merokok. Labeling ini dilakukan dengan menempel stiker atau penanda lainnya pada kawasan-kawasan yang memang dibolehkan untuk merokok.

Sumber

Viewing all 2293 articles
Browse latest View live