Quantcast
Channel: Komunitas Kretek
Viewing all 2271 articles
Browse latest View live

Fenomena Pengepulan Daun Cengkeh Mengancam Kelestarian

0
0

Dalam sejarahnya cengkeh adalah bagian yang tak terpisahkan dari produk kretek. Bahkan sampai saat ini, industri kretek kita sangat bergantung dari pasokan petani dalam negeri. Konten kretek semuanya berasal dari negeri sendiri sejak dahulu. Ini membuktikan bahwa kretek adalah salah satu komoditas yang dari hulu-hilirnya membantu bangsa ini tetap berdaya dalam hal ekonomi, sosial maupun budaya.

Di Munduk sendiri panen cengkeh tertunda lantaran cuaca yang kurang mendukung pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, banyak petani yang masih mendapatkan penghasilan dari perkebunan cengkeh, salah satunya dari daun cengkeh. Umumnya daun-daun tersebut dijual ke pengepul untuk diambil minyaknya.

Harga per kilogramnya berkisar Rp 4.000 sampai 5.000 untuk yang sudah kering, harga yang bagi banyak petani cukup menjanjikan, setidaknya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ketertundaan panen pada dua musim lalu sebetulnya terlunasi oleh panen raya tahun ini. Namun penjualan daun-daun cengkeh ini masih tetap berlangsung di Munduk, juga beberapa daerah lainnya di Buleleng.

Dinilai dari kelestarian lingkungan hidup ketiadaan daun-daun cengkeh dari tanah perkebunan dapat memicu munculnya bencana erosi tanah. Untuk kita ketahui, perkebunan cengkeh di Munduk umumnya berada di lereng-lereng bukit. Daun-daun cengkeh yang rontok ke tanah secara alami membawa tugas mulia yang dikandungnya yakni menjaga ekosistem.

Pada daun cengkeh terkandung fungisida yang mampu mengentaskan hama jamur putih yang membiak di akar dan batang pohon. Seiring waktu pengepulan daun-daun cengkeh ini kemudian menjadi satu fenomena sejak kurun tahun 2011-an, tidak jarang petani memetik daun-daun yang masih muda untuk dikeringkan. Hal ini jelas membahayakan bagi kelestarian pohon cengkeh itu sendiri. Nutrisi cengkeh sebagian besar didapat dari daun-daun yang ada di pohonnya.

Jika sudah kekurangan nutrisi, sudah pasti pohon cengkeh menjadi rentan terserang hama kutu putih. Lain itu, petani juga tidak seberapa intens memberi pupuk untuk perkebunannya. Seakan tidak memahami betul bahwa nutrisi yang dibutuhkan oleh cengkeh juga memberi arti lebih bagi kualitas cengkeh yang kelak dipanen. Umumnya pemberian pupuk hanya dilakukan sekali dalam setahun oleh petani.

Bli Komang Armada salah satu petani di Munduk yang menyesali fenomena itu, dia sangat melarang betul para tenaga penggarap yang di bawah asuhannya melakukan pengepulan daun-daun cengkeh. Perhatiannya terhadap pohon-pohon cengkeh jauh lebih intens dibanding para petani kebanyakan yang hanya memberi pupuk sekali dalam setahun. Diharapkan olehnya ini dapat menjadi teladan, karena sulit baginya mempengaruhi petani dengan bahasa larangan, lantaran apa yang mereka lakukan bukan sesuatu yang ilegal.

Dia hanya bisa memberi teladan tentang tata laku perawatan kepada kebun miliknya. Meski sudah ada pembatasan yang dikeluarkan oleh Bupati Buleleng, yakni terkait izin produksi penyulingan daun cengkeh pada tahun 2015 yang lalu, hal itu tak bisa sepenuhnya mencegah aktivitas pengepulan tersebut. Tetapi setidaknya dapat mengurangi semakin berkembangnya industri penyulingan.

Konon secara hitung-hitungan memanen daun-daun tersebut lebih menjanjikan lantaran saban 15 sampai 25 hari saja sudah bisa memanennya kembali. Berbeda dengan memanen cengkeh yang hanya bisa dilakukan setahun sekali. Pada tahun sebelum dikeluarkannya pembatasan izin penyulingan, pernah terjadi pencemaran yang cukup hebat yang mengancam ekosistem sungai. Limbah penyulingan yang dibuang ke sungai membuat air sungai menjadi keruh.

Di Munduk harga per kilogram cengkeh saat ini sudah tembus sampai Rp 90.000. Tidak seperti komoditas lainnya, cengkeh dapat disimpan bertahun-tahun, para petani cengkeh kerap menjadikan rempah-rempah khas Nusantara ini sebagai investasi. Bisa kapanpun saja dijual seturut keperluannya.

Jauh sebelum memasuki tahun 2000-an, menurut Bli Komang, jumlah bunga pada tiap pucuk itu bisa sampai 50-an banyaknya. Tetapi seiring waktu, bahkan sekarang jauh semakin berkurang jumlahnya. Hal yang dinyatakannya ini semua akibat dari perilaku manusia yang kurang peduli terhadap anugerah alam yang dititipkan, baik berupa pohon cengkeh maupun ekosistem yang melingkupinya. Alam ini punya bahasanya sendiri, punya logika yang kadang enggan dipahami oleh kita. Manusia sebetulnya tinggal membangun harmoni saja menjalin isyarat dari kehendak alam, agar tercipta kesinambungan yang saling menyempurnakan.

The post Fenomena Pengepulan Daun Cengkeh Mengancam Kelestarian appeared first on Komunitas Kretek.


Dua Hama Cengkeh yang Kerap Mengancam di Munduk

0
0

Pemeliharaan pohon cengkeh tentu tak semudah yang kita kira. Ada banyak tahap yang harus dilakukan terkait pemeliharaannya termasuk mengatasi serangan hama cengkeh. Di Munduk, Bali, masyarakat yang membudidayakan cengkeh sangat kesal dengan hama Jamur Akar Putih, atau yang biasa disingkat dengan istilah JAP.

Pohon cengkeh yang terserang JAP umur hidupnya sudah bisa dipastikan tidak akan bertahan lama, kehabisan nutrisi dan akan tampak tidak segar. Belum ada cara ampuh untuk membasmi hama tersebut jika sudah menyerang akar. Adapun yang biasa  dilakukan petani cengkeh adalah dengan melakukan upaya preventif.

Salah satunya melalui penyemprotan insektisida secara berkala. Hanya itu yang bisa dilakukan untuk mencegah datangnya ancaman mematikan dari JAP. Sebagian besar petani amat mencemaskan datangnya serangan hama jenia ini.

Bagaimana tidak mencemaskan, JAP berpotensi menular ke pohon cengkeh lainnya. Untuk mencegahnya ada satu laku pecegahan dari pengalaman Bli Komang, salah satu petani cengkeh yang memiliki disiplin bagus dalam hal pemeliharaan pohon-pohon cengkeh di Munduk selama ini. Ia mendaku pernah mendapatkan pengalaman buruk dari serangan JAP, dari pengalaman itulah Ia kemudian belajar mengolah insektisida organik. Pengetahuan yang didapatnya ini hasil kombinasi dari berbagai sumber. Bahan-bahan yang digunakan pun didapat dari lingkungan sekitarnya.

Cukup dengan memanfaatkan daun tembakau, daun pepaya, daun sirsak, dan buah larak. Ke semua komponen itu tidak semua didapatnya dari membeli. Tentu upaya ini bisa menjadi contoh bagi petani cengkeh lainnya.

Ancaman hama lainnya adalah berupa ulat cengkeh yang kerap membuat lubang di pokok-pokok pohon. Kerja ulat ini sangat luar biasa militan dan masif, salah satu hama yang menjadi momok bagi para petani cengkeh umumnya. Hama ulat ini sudah dikenal sejak dahulu sekali.

Bli Komang biasanya mengatasi serangan hama ini dengan cara menyumbat lubang tersebut menggunakan bilah bambu yang diruncingkan layaknya tusuk sate. Lalu ujung runcingnya itu diberi kapas, kapasnya dicelupkan ke dalam insektisida. Setelah itu barulah dibenamkan ke dalam lubang sampai mentok. Sisa pangkalnya lantas dipotong rata sampai tidak menonjol, kemudian diolesi lem yang paling kuat. Agar awet sebagai sumbatan sih intinya.

Setidaknya gambaran ini dapat menjelaskan bahwa persoalan hama ini dapat ditanggulangi dengan berbagai cara, setiap petani memiliki kreativitasnya sendiri. Boleh jadi di tempat lain di luar Munduk ada cara yang berbeda dan bersesuai dengan persoalan hama yang dihadapi.

Cengkeh sebagai komponen produk kretek tentu haruslah cengkeh yang berkualitas. Yang dari kualitas itulah petani dapat memiliki posisi tawar terkait harga jual, dan lebih utama dari itu tentunya menyangkut pula reputasi. Para pengepul yang membeli cengkeh dari petani cukup selektif dalam pencapaian kualitas yang diinginkan pihak pabrikan.

The post Dua Hama Cengkeh yang Kerap Mengancam di Munduk appeared first on Komunitas Kretek.

I Made Terip, Perokok Berat Tanpa Keluhan

0
0

Aset Munduk tak hanya perkebunan cengkeh yang mengeluarkan wangi khas ketika panen raya seperti sekarang, tak cuma destinasi wisata yang masih terjaga kealamiannya, atau keragaman kulinernya yang juga dikenal luas. Salah satu yang mendunia adalah seorang seniman bernama I Made Terip.

I Made Terip terlahir dengan bakat alam yang sangat istimewa. Tidak sedikit komposisi musik lahir dari bakat alamnya yang cadas itu. Masyarakat Munduk sangat menghormatinya sebagai seniman yang keras dalam mendidik para pebakat baru. Seniman yang mengangkat kekayaan lokal ini tercatat beberapa kali menjadi pengajar tamu di beberapa kampus di Eropa.

Berbagai perhelatan musik skala internasional pun telah kerap menghadirkan seniman yang sudah menginjak usia 66 tahun pada tahun ini. Satu hal yang cukup memberi sumbangsih besar adalah perannya dalam menciptakan karakter gamelan khas Buleleng melalui komposisi tabuh gong.

I Made Terip berasal dari keluarga seniman (pragina). Buyut, kakek,  juga ayahnya adalah seniman tradisional di Munduk. Bahkan, kakek buyutnya, I Wayan Djada, adalah perbekel (kepala) Desa Munduk yang dikenal sebagai penulis lontar dan seniman karawitan. Karya kakek buyutnya, Djada, adalah berupa tabuh Gending Sekatian yang dilestarikan di Munduk.

Selain mahir menabuh rindik bahkan membuatnya, I Made Terip juga handal memainkan gamelan gender wayang. Berbeda dengan rindik dari bambu, gender terbuat dari bilah-bilah logam. Terdiri atas 10 bilah atau lebih, alat musik ini sering dibuat sepasang sebagai pengiring pentas wayang.

Ketika duduk di kelas tiga SD dia sudah dipercaya mengajar gamelan dan tari. Dengan segala prestasi dan kesohorannya itu I Made Terip tetap tampil bersahaja. Di usianya yang sudah tidak muda lagi itu Ia mampu menghabiskan rokok dalam sehari lebih dari tiga bungkus. Bahkan diakuinya tak ada sedikit pun keluhan dari kebiasaannya merokok yang terbilang tak lazim.

Setiap seniman sangat dipengaruhi oleh tanah kelahiran dan ruang tumbuhnya, tak terkecuali I Made Terip. Meski gemar merokok dia tidak pernah mau merepotkan orang lain untuk memenuhi kegemarannya itu. Dia sangat menyukai kretek berfilter, belakangan ini rokok yang dihisapnya adalah jenis kretek mild.

Dedikasinya dalam kesenian tak diragukan lagi, pun halnya dengan kebiasaannya merokok. Rokok tiak membuatnya menjadi buntu berkarya. Rokok pun bukan satu-satunya alasan dia terus berkarya. Meski sebagian besar orang yang melihat dari kacamata kesehatan menilai kebiasan merokok I Made Terip ini amatlah kelewatan. Namun faktanya justru tidak. Ia senantiasa bugar dan terus berkesenian dan memberi sumbangsih besar bagi Munduk juga tanah airnya.

The post I Made Terip, Perokok Berat Tanpa Keluhan appeared first on Komunitas Kretek.

Belajar Memahami Varietas Cengkeh Dari Komang Armada

0
0

Selain bermanfaat untuk kesehatan, cengkeh punya andil besar dalam industri kretek dalam negeri. Bahkan ada yang bilang, cengkeh diibaratkan sebagai ’emas coklat’. Punya nilai investasi yang cukup besar. Mata rantainya terus hidup sampai sekarang.

Tanaman cengkeh ini hidup subur di banyak daerah, khususnya Indonesia wilayah timur. Selain faktor geografis, perlakuan dari petani menjadi penentu keberhasilan komoditas ini.

Salah satunya Munduk, Bali. Di tempat ini puluhan hektar membentang diselimuti pohon cengkeh. Meski ada beberapa titik ditumbuhi kopi, tapi mayoritas tanaman di tempat ini adalah cengkeh. Sungguh kaya jika dilihat secara nilai investasinya di tempat ini.

Tanaman cengkeh bisa dibilang tanaman yang ‘cengeng’. Salah perlakuan dari petani bisa menyebabkan kerusakan pada tanaman cengkeh. Itulah kenapa para petani di sini salah satunya Bli Komang Armada harus apik merawatnya. Dari tanah, batang, sampai buahnya harus diperhatikan.

Sebagai tanaman endemik, kiranya perlu sama-sama mengetahui apa saja sih varietas cengkeh di munduk? Nah, kebetulan beberapa hari ini saya mengikuti segala aktivitas dan penjelasan langsung dari Bli Komang.

Oh iya, Bli Komang ini merupakan salah satu petani yang cukup ulet dalam urusan mengelola perkebunan cengkeh. Beberapa petani di munduk mengakui kegigihannya. Salah satu orang yang cukup berpengaruh juga di Munduk.

Dalam beberapa kesempatan, Bli Komang menjelaskan apa saja varietas cengkeh yang tumbuh di Munduk. Kebetulan sore itu Bli Komang mengajak kami untuk makan siang di area perkebunannya. Sepanjang jalan ia menjelaskan varietas cengkeh.

Pertama, Cengkeh Si Putih. Dilihat dari pohonnya sudah terlihat tidak rindang. Percabangannya kurang kompak. Pucuk atau daun muda berwarna hijau muda kekuningan dengan helaian daun relatif lebih besar. Pertandan berisi kurang lebih 15 kuntum bunga.

Yang paling mencolok, Kata Bli Komang, percabangannya baru dimulai pada ketinggian sekitar 2 meter dari permukaan tanah. “Kelihatan kok pohonnya nggak rindang,” jelasnya. Varietas ini mulai berbunga pada usia 6-8 tahun. Sayangnya produksi dan kualitas bunga varietas ini relatif rendah.

Kedua, Cengkeh Si Kotok. Varietas ini cukup unik, dari tajuknya saja terlihat seperti piramid. Percabangannya cukup kompak. Berbeda dengan Si Putih, Cabang pertama dari varietas Si Kotok tetap masih hidup sehingga nampak rendah dari permukaan tanah. Warna awal bunganya berwarna hijau kemudian berubah menjadi kuning saat matang dengan pangkal berwarna merah.

Untuk urusan berbunga, varietas ini hampir sama dengan Si Kotok. Di usia 6-8 tahun baru mulai berbunga. Terkait produksi dan kualitasnya jenis ini relatis sedang. Namun perihal adaptasi dengan lingkungan menurut Bli Komang, Si Kotok cenderung lebih baik dari pada si putih.

Ketiga, Cengkeh Zanzibar. varietas ini mulai berbunga lebih cepat dari varietas lainnya. Membutuhkan usia 4,5-6,5 tahun. Bunganya lebih gemuk dan bertangkai panjang, berwarna hijau saat muda dan berubah kuning saat matang petik. Jumlah kumtum bunga cengkeh Zanzibar ini relatif banyak.

Diliah dari pohonnya, jenis ini terlihat rimbun dengan percabangan rendah dari permukaan tanah, berbentuk kerucut karena cabang-cabangnya membentuk sudut lancip. Pangkal tangkai daunnya berwarna merah. Bentuk dari daunnya sendiri agak langsing tapi lebar pada bagian tengahnya.

Cengkeh Zanzibar mempunyai daya adaptasi luas dengan produksi relatif tinggi dibandingkan dengan tipe lainnya. Jenis ini merupakan varietas yang dianjurkan untuk ditanam petani. Termasuk kebun milik Bli Komang yang mayoritas cengkehnya varietas Zanzibar.

Itulah beberapa varietas cengkeh di Munduk. Meski pohon cengkeh itu cengeng, hasil dari budidaya ini menyenangkan. Termasuk Bli komang, dari hasil cengkeh ini mampu menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi.

The post Belajar Memahami Varietas Cengkeh Dari Komang Armada appeared first on Komunitas Kretek.

Tiga Merek Rokok yang Cukup Digemari di Munduk

0
0

Ada beragam merek rokok yang terpajang di beberapa warungdi daerah Munduk. Dari yang umum dikenal sampai yang asing bagi banyak perokok umumnya. Munduk selain memiliki keindahan alam nan asri, daerah ini dikenal juga sebagai penghasil kopi juga cengkeh untuk kebutuhan industri kretek. Oleh sebagaian besar masyarakat keberadaan rokok tidak hanya untuk dihisap, tetapi juga menjadi bagian dari sesajen.

Kretek yang menjadi bagian dari sesajen ini umumnya dipilih kretek yang tidak mahal harganya. Sebut saja dari jenis kretek golongan III. Rokok golongan ini juga banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Munduk. Biasanya harga per bungkusnya tak lebih dari sepuluh ribu. Umumnya rokok ini jarang dikenal secara luas.

Menurut seorang teman yang kini berstatus mantan wartawan yang menetap di Singaraja, dulu di Bali ada dua merek kretek yang cukup sering didapati di dalam sesajen. Pertama, kretek merek Gedong Batu dan yang kedua, merek Satu. Namun merek itu kini sulit dijumpai lagi. Sepertinya tergantikan oleh berbagai merek lain dari golongan yang sama.

Namun setidaknya ada tiga merek rokok yang cukup diminati masyarakat berpenghasilan rendah. Tiga merek ini mungkin di beberapa kota lain atau pula di luar Bali dapat kita temui  juga. Tetapi dii Munduk sendiri, tiga merek kretek ini terbilang tidak sedikit juga penggemarnya.

Pertama, kretek non filter merek Basra

Bungkus rokok ini sangat cerah sekali. Kuning muda. Jika kita sudah keluarkan isinya sekilah seperti rokok Samsu. Ada ‘plat’ kuningnya dan trdapat garis hiram kcil. Rokok ini tidak terlalu manis. Cukup padat juga isinya.

Kedua, kretek berfilter merek Potenza

Sekilas kalau kita lihat bungkusnya mirip dengan rokok surya isi duabelas. Rasanya pun tidak terlalu beda jauh. Rokok yang satu ini dijamin mudah didapati di Munduk. Mungkin lantaran harganya yang tidak terlalu mahal, boleh jadi karena rasanya.

Ketiga, SPM (Sigaret Putih Mesin) merek Moden

Iya memang bukan jenis kretek untuk rokok yang satu ini. Rasanya mirip rokok Halim sekilas. Secara tampilan terbilang cukup modern. Menyerupai rokok putihan sekelas Lucky Strike atau SPM yang sejenis. Rokok buatan Zheijiang Tobacco ini semula merek dagangnya adalah Modeng. Rokok ini terbilang baaru tahun 2007 diiluncurkan.

Ketiga merk itulah yang sampai saat ini masih cukup diminati oleh sebagaian kalangan di Munduk. Jika Anda kebetulan mendapati ketiga rokok yang disebutkan di atas, jangan ragu untuk merasakan kenikmatannya. Tetapi berdasar pengalaman, rasa rokok ini semakin mantap dinikmati kalau dikonsumsi di Munduk yang hawa sejuk pegunungan serta panoramanya yang asri, membuat banyak hal menjadi jauh lebih mantap. Termasuk dalam hal menikmati kretek.

The post Tiga Merek Rokok yang Cukup Digemari di Munduk appeared first on Komunitas Kretek.

Pemerintah DKI Jakarta Jangan Latah Membuat Raperda KTR

0
0

Peraturan Daerah Tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) adalah salah satu dari sekian banyak regulasi yang lahir di tengah kontroversi. Beberapa kejanggalan dan tendensi diskriminatif bagi perokok terasa nyata dalam batang tubuh aturan ini, meski ada juga poin-poin yang dirasa baik. DKI Jakarta adalah daerah yang menjadi pionir dalam hal meregulasi perokok.

Pada tahun 2005, DKI Jakarta menjadi satu-satunya daerah yang memiliki aturan mengenai rokok, khususnya asap rokok. Aturan tersebut tertuang dalam Perda DKI Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Kemudian dilanjutkan dengan lahirnya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Tanpa Rokok yang kemudian diubah menjadi Pergub Nomor 88 Tahun 2010 tentang perubahan atas Pergub 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Tahun 2012 untuk menjelaskan lebih rinci tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Pergub 50 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan, Pengawasan dan Penegakkan Kawasan Tanpa Rokok. Dilanjutkan dengan peraturan Iarangan penyelenggaraan reklame rokok dan produk tembakau pada media luar pada tahun 2015. Cukup banyak regulasi yang sebenarnya hampir mirip.

Hingga hari ini, dasar hukum mengenai KTR masih bertumpu pada Perda Nomor 2 tahun 2005. Mengingat banyak daerah yang sudah memiliki Perda khusus KTR, mungkin pemerintah ibukota merasa perlu membuat perda serupa. Entah apa alasan utamanya, tapi rasanya agak berlebihan kalau semangat pembentukan perda lahir karena merasa tertinggal dari daerah lain.

Hal semacam ini yang berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Regulasi mengenai KTR memang memuat beberapa poin yang kami rasa baik, hanya saja kalau pembentukannya terburu-buru dan terkesan dipaksakan justru menjadi kontraproduktif. Masyarakat tetap harus dilibatkan partisipasinya dalam membuat regulasi. Pada titik tertentu, perda yang lahir dengan terburu-buru menjadi semakin sia-sia. Misalnya, asal salin dari daerah lain.

Fenomena asal salin terjadi di berbagai daerah. Hanya karena ingin memiliki perda KTR, ada beberapa daerah yang sekadar menyalin regulasi serupa dari daerah lain. Di Kabupaten Bantul, misalnya. Pada masa awal pembentukannya, Perda KTR Bantul sempat heboh karena masih terdapat kata “Bogor” yang belum sempat mereka hapus.

Lagipula, regulasi mengenai rokok, khususnya di Jakarta, sudah cukup banyak. Lebih baik maksimalkan regulasi yang sudah ada daripada bernafsu menyusul daerah lain dalam semangat yang absurd. Rasanya DKI Jakarta lebih membutuhkan regulasi mengenai pencemaran udara akibat polusi kendaraan bermotor yang lebih terasa di Jakarta.

Intinya, pemerintah tidak boleh memojokan kelompok tertentu dalam membuat regulasi. Keseimbangan keadilan harus selalu ada.

The post Pemerintah DKI Jakarta Jangan Latah Membuat Raperda KTR appeared first on Komunitas Kretek.

Siapa Bilang Tokoh Agama Tidak Merokok?

0
0

“Muslim di Indonesia yang taat beribadah, maksudnya di sini seperti salat 5 waktu cenderung tidak merokok” Renny Nurhasana, peneliti dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI).

Kutipan di atas diambil dari salah satu tulisan yang dimuat di beritasatu.com . Sebuah tulisan yang menimbulkan banyak pertanyaan, terutama pada kalimat ‘orang yang taat beribadah, cenderung tidak merokok’. Benarkah demikian?

Tunggu dulu. Kita perlu bahas satu per satu ulama yang taat beribadah dan menjadi panutan banyak orang di seluruh penjuru nusantara. Lalu kita simpulkan bahwa pernyataan tersebut tepat atau tidak.

“Setiap manusia harus tahu sehat atau tidak, yang tahu manusianya bukan produknya. Yang salah filosofi kita, dokter itu konsultan, kita yang tahu diri kita sendiri. Sehingga kita selama ini tergantung dokter tapi kalau kamu menjelek-jelekkan rokok maka saya akan belani, siapa saja yang teraniaya, saya cenderung menemani dia”

Pertama, Emha Ainun Nadjib atau akrab dipanggil Cak Nun. Beliau salah satu tokoh panutan umat Islam di Indonesia. Selain diakui sebagai budayawan, beliau juga dipandang layak sebagai ulama yang taat beribadah. Pandangan-pandangan permasalahan yang beliau bahas dikemas dari sisi filsafat, kebudayaan, juga agamis. Sosok sederhana ini mempunyai jadwal rutin mengaji bersama jamaahnya, Maiyah, setiap bulan di berbagai kota. Pengikutnya sampai sekarang sudah mencapai jutaan orang. Dan yang harus digarisbawahi, beliau merokok yang adil. Apakah karena beliau merokok, lalu tidak taat beribadah?

Oke. Jika Cak Nun dipandang sebagai budayawan, bukan ulama, kita lihat KH Mustofa Bisri atau Gus Mus sebagai ulama yang merokok. Beliau adalah ulama yang karismatik. Banyak orang yang menaruh hormat kepada beliau sebagai ulama  yang tidak mau terlibat dalam politik. Beliau lebih fokus mengurus umat. Karena beliau merokok, apakah beliau tidak taat beribadah?

Habib Luthfi, ulama asal Pekalongan ini mempunyai jamaah dari berbagai penjuru Indonesia, bahkan luar negeri. Habib Luthfi sangat disegani karena ilmunya yang luas dan soleh. Beliau merokok dan tidak menjadi alasan bagi beliau untuk tidak taat beribadah karena merokok.

‘Mereka kan tokoh-tokoh NU, ya wajar saja kalau mereka merokok’. Siapa bilang? Tokoh Muhammadiyah, sebagai ormas Islam yang mengharamkan rokok pun merokok. Adalah mantan menteri agama Malik Fadjar yang dikenal sebagai perokok aktif. Hal ini saya ketahui dalam cuitan Mahfud MD di twitternya, “Gus Dur tak merokok tuh. Merokok/tidak itu bukan ukuran NU atau bukan. Tokoh Muhammadiyah Malik Fajar merokok”.

Siapa lagi? Habib Bahar, habib muda nan energik ini diketahui sebagai perokok aktif. Tak hanya mahir berceramah dan menyiarkan ajaran Islam, beliau juga pandai bermain musik. Ya, hampir sama lah kemampuannya seperti Habib Luthfi.

Ulama-ulama tersebut merokok dan taat beribadah. Taat atau tidak taat beribadah itu bukan tergantung rokok melainkan seberapa sering berbuat kebaikan. Apabila ada yang menjelek-jelekkan rokok, apalagi tembakau maka sikap Cak Nun perlu ditiru. Kita mengadu kepada Tuhan, “Ini lho ciptaan Sampeyan dielek-elekno (dijelek-jeleklan)”.

Sampai sekarang, hukum Islam mengenai rokok memang masih diperdebatkan. Ada ormas Islam yang mengharamkan rokok, ada juga yang membolehkan. Intinya, banyak ormas Islam yang sudah mengambil sikap tentang hal ini karena menyangkut orang banyak. Apalagi Indonesia menjadi kerajaan kretek terbesar di dunia. Hukum Islam tentang rokok tentu menjadi perhatian khusus dan tentunya fatwa-fatwa dari ormas islam sangatlah berpengaruh.

The post Siapa Bilang Tokoh Agama Tidak Merokok? appeared first on Komunitas Kretek.

Empat Hal Yang Bikin Kretek Super Nikmat Di Pagi Hari

0
0

Dalam kehidupan sehari-hari, aktifitas sebagian orang kerap ada yang selalu bertemani dengan rokok, dalam kesibukan dimanapun dan entah profesi apapun yang diemban. Yang terpenting hal-mendasar bagi mereka adalah kretek sudah bisa jadi ekspresi dalam menciptakan kenikmatan untuknya.

Meski sebagian orang lain ada yang menganggap bahwa kebanyakan merokok bakal bikin mulut capai. Namun anggapan itu hanya sebatas yang terlintas di pikiran saja, tanpa tahu bagaimana rasanya menyukai sesuatu. Ya, perihal suka bisa dibilang seperti tak bisa berhenti untuk melepaskan. Bagai di rasa ingin selalu bersama. Aduhai~

Seperti hal nya di pagi hari, ada kebiasaan sakral dan punya momen penting untuk menciptakan pagi yang nikmat bersama kretek. Pastinya memilki banyak kebiasaan yang berbeda-beda, disini saya bermaksud untuk mengajak Anda untuk mengenal kenapa pagi hari bersama kretek begitu nikmat dirasakan? Nah, dari beberapa pengretek tentunya kerap melakukan beberapa hal seperti ini di pagi hari.

  1. Sebelum ngeretek minum air putih dulu

Kalo kalian suka dengan air putih, saya sendiri pun suka. Sebab air putih merupakan minuman sejuta umat. Untuk urusan di pagi hari, air putih mempunyai keutamaan yang sangat menguntungkan. Dapat menghindarkan dari obesitas dan diabetes. Tapi lain lagi, merujuk pada kebiasaan orangtua terdahulu, bangun pagi dan sebelum berangkat menuju ke kamar mandi haruslah minum air putih terlebih dulu. Agar racun-racun di dalam tubuh dapat terbunuh dan hanyut ke organ pembuangan.

Yang jelas, agar mempermudah proses ekskresi. Dengan begitu, pagi hari yang dibarengi dengan kegiatan merokok akan menjadi nikmat dengan air putih.

  1. Pastikan Ada Korek Di Dekat Rokok Ketimbang Kompor

Mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Ibarat kecanggihan teknologi sekarang, apa-apa harus sudah ditunjang dengan hal yang dapat di akses dengan mudah. Sama hal nya seperti korek, media untuk membakar rokok ini haruslah berada dekat di sisi sang rokok. Syukur saja kalau korek kalian sudah dilengkapi dengan alat pendeteksi, bisa mensinyalir keberadaan korek. Misal; dalam radius 1 km (di saku teman). Nah, kalau belum ditunjangi itu, kesal sendiri kan jadinya. Ujung-ujungnya kompor lagi buat alat bantu menyalakan rokok.

Untuk itu, letakkan korek di tempat yang pasti terlihat dari jangkauan mata dan tidak jauh dari tempat Anda tidur. Supaya bangun pagi bisa menikmati rokok tanpa khawatir mencari akan keberadaan koreknya.

  1. Ada Kopi Hangat Yang Menemani

Kopi menjadi sahabat andalan bagi kebanyakan perokok di pagi, siang ataupun malam. Meski demikian kopi disajikan dalam kebersamaan di malam ataupun kesunyian seperti di pagi hari, tentu memilki kekuatannya tersendiri. Untuk di suasana pagi, bisa dibayangkan hening membalut kehangatan dari nikmatnya secangkir kopi sembari melihat mentari menarik diri menyorot ke permukaan. Seruput dari kopi dan hisapan kretek seakan membangkitkan semangat untuk siap mengatakan “Hari ini haruslah lebih baik dari hari sebelumnya”.

Selain daripada itu, kehadirannya kopi dan rokok di pagi hari membuat diri kita  terfokus dan tidak kembali ngantuk. Itulah kehebatannya dari mereka berdua.

  1. Rokok Yang Dihisap Bukan Puntung Bekas Semalam

Kalau kalian tipe perokok yang enggan atau malas untuk keluar belanja rokok, setidaknya nyetok rokok barang satu atau dua bungkus merupakan hal penting. Dari stok itu bisa difungsikan untuk merokok pagi. Jangan sampai kehabisan rokok, miris aja melihatnya kalau rokok yang dihisap bekas puntung rokok semalam. Dari cita rasa memang beda, rokok baru dengan rokok puntungan. Ya, terus mau gimana?

Tapi setidaknya saya sendiri merasa salut bila ada pengeretek yang masih melakukan hal tersebut. Sebab, berbicara kesukaan, hasratnya tak boleh terlewatkan begitu saja untuk merokok. Karena diyakini alasan mereka ingin melakukan itu bahwa rokok hari ini memberi kekuatan dan semangat untuk melancarkan kegiatan di pagi hari.

Terakhir, jangan malu akan bau mulut, apalagi khawatir akan bahaya atau tidaknya merokok di pagi hari. Justru malah menjadi nikmat, bila dibarengi dengan beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan seperti di atas. Percayalah, tidak ada yang lebih nikmat ketimbang merokok di pagi hari. Rokok membawa ketenangan, kenyamanan dan kesempurnaan cintaa…

The post Empat Hal Yang Bikin Kretek Super Nikmat Di Pagi Hari appeared first on Komunitas Kretek.


Peran Kretek Dalam Menunjang Nawa CIta dan SDG’s

0
0

Tembakau adalah musuh dari pembangunan berkelanjutan. Begitu kiranya anggapan yang dibangun sepanjang wacana tentang Sustainable Development Goals (SDG’s) berkembang di Indonesia. Menggunakan capaian ketiga SDG’s, yakni “Menjamin kehidupan yang sehat serta mendorong kesejahteraan hidup untuk seluruh masyarakat di segala umur”, tembakau dijadikan pesakitan karena dianggap sebagai penghalang capaian tersebut.

Setelah membaca sekian banyak pubikasi mereka tentang hal tersebut, saya menyadari satu hal: argumentasi yang dibangun dalam kampanye tersebut tidak dilandasi pengetahuan yang memadai, simplistis bahkan cenderung manipulatif terhadap posisi IHT. Selain itu, mereka terlalu memaksakan kebencian untuk membangun logika yang tidak masuk akal.

Tapi ketimbang kita membahas segala argumentasi yang tidak argumentatif, ada baiknya kita membahas bagaimana kretek justru mampu menjadi salah satu faktor yang mendorong terwujudnya tujuan SDG’s. Bagaimana kretek justru mampu menjadi faktor kunci untuk mewujudkan Nawa Cita dan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Mewujudkan Nawa Cita Agenda Prioritas Ketiga dan SDG’s Tujuan Kedua

Tembakau adalah salah satu komoditas strategis perkebunan20. Tembakau merupakan jenis tanaman semusim, dalam setahun hanya bisa ditanam satu kali dan sifatnya polikultur. Petani menanam tembakau sebagai tanaman produktif tatkala musim kemarau. Di musim hujan, lahan untuk tembakau ditanami palawija atau padi. Bagi petani, tembakau termasuk komoditas yang memiliki nilai ekonomi lebih besar dibanding palawija dan padi atau komoditas lain yang cocok ditanam di lahan kering.

Sementara itu, pada tanaman cengkeh memiliki pola penanaman yang multikultur. Di sela tanaman cengkeh dapat ditanami pisang, pepaya, jengkol, pucung, janggelan kelapa, durian, pete, empon-empon, dan sebagainya yang bisa menjadi komoditas alternatif sebelum masuk musim panen cengkeh22. Tabungan cengkeh yang disimpan dari hasil panen sebelumnya menjadi cadangan ekonomi petani ketika masa perawatan kebun berjalan.

Sebenarnya petani tembakau dan cengkeh sudah menerapkan sistem pertanian/perkebunan secara arif sesuai kebutuhan dan kondisi alamnya. Meskipun tembakau dan cengkeh bukan tanaman pangan, tetapi keduanya dapat mendukung daya hidup para petani. Dukungan ekonomi yang besar seperti ini dapat membantu pemerintah dalam upaya mengakhiri kelaparan seperti yang diharapkan dalam tujuan SDG’s poin kedua.

Mewujudkan Nawa Cita Agenda Prioritas Kelima dan SDG’s Tujuan Ketiga

Berbeda dengan tuduhan kalangan rezim kesehatan, rokok kretek bukanlah faktor utama dan tunggal penyebab sebuah penyakit. British Medical Journal mengeluarkan laporan bahwa tidak ada hubungan antara perokok pasif dengan kanker paru-paru.

Sementara itu, dalam riset terhadap perokok berusia lanjut terbukti mereka tetap sehat dan produktif yang menunjukkan bahwa tidak ada kaitan antara kebiasaan merokok sebagai penyebab penyakit bahkan kematian.

Dalam konteks lain, pemasukan yang besar bagi negara melalui penerimaan cukai tembakau, setiap tahunnya justru dijadikan tambahan dana kesehatan untuk masyarakat. Pada tahun 2017, pemerintah memanfaatkan Rp5 triliun dari dana cukai hasil tembakau untuk menutup defisit anggaran Badan Penyelenggara jaminan Sosial (BPjS). Selain itu, dalam Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 222 Tahun 2017 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT), di pasal 2 ayat (2) pemerintah sudah mengatur penggunaan minimal 50 persen dari DBH-CHT yang dibagi ke setiap daerah untuk diprioritaskan guna mendukung program jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Mewujudkan Nawa Cita Agenda Prioritas Ketiga dan SDG’s Tujuan Kedelapan

Setiap tahunnya penerimaan cukai hasil tembakau selalu meningkat. Sejak tahun 2013, penerimaan cukai selalu berada di atas Rp100 triliun. Berturut-turut: Rp103,6 triliun pada tahun 2013; Rp112,5 triliun pada tahun 2014; Rp139,6 triliun pada tahun 2015; Rp141,7 triliun pada tahun 2016; dan Rp149,9 triliun pada tahun 201731. Pada tahun 2018, sebanyak 8,92 persen dari penerimaan negara disumbang oleh pemasukan cukai hasil tembakau32.

Dana Bagi Hasil-Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) yang dialokasi- kan ke daerah-daerah turut mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Pemanfaatan DBH-CHT tidak hanya digunakan untuk aspek pembangunan infrastruktur di daerah, tetapi juga mendukung jaminan kesehatan33, yang menjadi salah satu faktor pendorong produktivitas masyarakat.

Perekonomian inklusif yang menjadi fondasi dari SDG’s tujuan kedelapan sudah terwujud dengan adanya IHT. Keberadaan perkebunan tembakau yang tersebar di 15 provinsi dan perkebunan cengkeh di 30 provinsi, serta sentra industri yang berada di kota-kota kecil seperti: Kudus, Kediri, dan Malang, sesuai dengan Nawa Cita agenda prioritas ketiga: membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Itu adalah sebagian dari peran kretek yang dapat dimaksimalkan untuk menunjang tercapainya  Nawa CIta dan SDG’s. Mengingat besarnya peran kretek dalam kehidupan masyarakat kita, alangkah tidak masuk akal jika kemudian pemerintah justru mengakomodit kepentingan kelompok yang ingin membunuh produk budaya ini

The post Peran Kretek Dalam Menunjang Nawa CIta dan SDG’s appeared first on Komunitas Kretek.

Tobacco Free Tourism, Gagasan Konyol Terbaru Dari Anti Rokok

0
0

Indonesia diklaim sebagai negara dengan tingkat konsumsi rokok tertinggi di Asia Pasifik. Menyikapi hal tersebut, kelompok anti rokok melakukan manuver dengan berbagai cara agar konsumsi rokok dapat ditekan seminimal mungkin. Setelah beberapa cara dilakukan, mereka mendapati fakta bahwa prevalensi perokok tak berubah signifikan. Terbaru, konsep Tobacco Free Tourism kini dicanangkan di Indonesia.

Tobacco Free Tourism atau wisata bebas rokok adalah konsep yang melarang penuh segala hal yang berkaitan dengan rokok terdapat di kawasan wisata. Konsep ini tak hanya sebatas persoalan bersih dari puntung dan asap rokok, melainkan juga bebas dari segala macam bentuk iklan rokok.

Tobacco Free Tourism atau kawasan wisata bebas rokok adalah sebuah konsep di mana tempat wisata harus ramah terhadap keluarga dan anak,” kata Mouhamad Bigwanto, perwakilan IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia).

Bigwanto menjelaskan bahwa target dari konsep ini bukan sebatas kualitas wisata tapi juga objek yang ada di dalamnya. Mungkin, baginya papan iklan rokok (yang jelas-jelas membayar pajak ke negara) merupakan bahaya bagi pengunjung kawasan wisata. Entah dimana bahayanya, yang pasti, rezim kesehatan akan selalu menuding semua tentang rokok adalah hal berbahaya.

Padahal, regulasi-regulasi yang berorientasi mengendalikan tembakau, pada titik tertentu, justru lebih berbahaya. Bicara rokok tak melulu perkara kesehatan, tapi juga hajat hidup orang banyak. Petani tembakau, petani cengkeh, buruh pabrik rokok, industri kecil rumahan hingga pedagang asongan, adalah elemen-elemen masyarakat yang akan muram andai semua tujuan pengendalian tembakau itu tercapai. Bahaya, bukan?

Tobacco Free Tourism  juga punya potensi bahaya yang sama. Ada banyak pedagang rokok di sekitar kawasan wisata. Jika kelak rokok (bahkan gambar rokok) sudah tak diizinkan muncul, mau dikemanakan dagangan mereka?

Atau mungkin para anti rokok belum pernah melihat orang-orang yang merokok sambil berjemur di pinggir pantai? Mau kita sebut apa orang-orang tersebut? Imigran gelap? Mereka itu wisatawan! Melarang mereka merokok bisa mematikan sektor non basis ekonomi masyarakat sekitar.

Perlu saya luruskan, saya bukan menghimbau agar para wisatawan beramai-ramai merokok di tempat wisata, hanya saja rasanya kita perlu lebih serius mencari sebuah solusi bersama agar tak ada pihak yang dirugikan dari sebuah regulasi.

Kalau memang ingin menjamin hak udara bebas asap bagi para wisatawan, ya sediakan ruang merokok bagi para wisatawan yang merokok. Selain itu, tujuan mulia untuk menjamin wisata ramah anak juga bisa dilakukan dengan mengedukasi para perokok agar sadar ruang; bahwa merokoklah di tempat yang jauh dari anak kecil. Jangan justru menganulir hak mereka. Merokok bukan tindak kriminal kok dilarang.

The post Tobacco Free Tourism, Gagasan Konyol Terbaru Dari Anti Rokok appeared first on Komunitas Kretek.

Perokok Dinista, Perokok Penyelamat Bangsa

0
0

Siapa bilang perokok itu merugikan negara? Hmm.. asal kalian tahu, setiap tahun kami para perokok yang jahat ini selalu menyetor duit ke negara hingga ratusan triliun. Tahun lalu jumlahnya 149 triliun, cuma untuk pungutan cukai. Belum yang lain-lain.

Ah iya, kalian para pembenci rokok mungkin tidak tahu kalau dalam setiap batang rokok yang kami hisap terdapat tiga pungutan. Bukan satu atau dua, Bung. Tiga. Tiga pungutan. Lah, kalian semua ini baru diajak bayar pajak saja sudah cemberut, kami yang doyan ngudud justru selalu taat dan konsisten membayar pungutan itu pada negara.

Kemarin, Presiden Joko Widodo akhirnya meneken Peraturan Presiden (Perpres) baru soal pemanfaatan pajak rokok dari daerah untuk menutup defisit keuangan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Jadi, pemerintah pusat bisa menggunakan pajak rokok yang merupakan hak pemerintah daerah dari tingkat provinsi hingga Kota/Kabupaten untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), termasuk untuk membantu menutup defisit keuangan BPJS.

Sebelumnya, pemerintah pusat memperkirakan bahwa jumlah penerimaan pajak rokok pada tahun ini akan mencapai sekitar Rp 13 triliun. Dengan perpres yang baru, pemerintah pusat bisa langsung mengakses 75% dari 50% pajak rokok (Rp 6,5 triliun) untuk mendanai JKN termasuk membiayai defisit keuangan BPJS Kesehatan yang pada tahun ini diproyeksikan mencapai Rp 10 triliun.

Sepertinya akan ada banyak orang yang menjilat ludah sendiri. Ya mau gimana lagi, BPJS Kesehatan sudah resmi mendapat suntikan dana dari duit haram, duit pembunuh, duit dari si biang penyakit. Gak kebayang mereka yang sudah kadung membenci bahkan mengolok-olok perokok suatu hari sakit dan mengakses BPJS Kesehatan. Mereka menikmati fasilitas yang didanai oleh duit haram, duit pembunuh, duit si biang penyakit. Kira-kira begitu.

Perokok pernah diusulkan agar tak boleh menerima jaminan BPJS Kesehatan. Kini, perokok jadi harapan pemerintah untuk menjamin keberlangsungan BPJS Kesehatan. Rokok pernah dianggap barang haram karena dituduh mengandung darah babi. Kini, rokok diharapkan laku terjual agar pajaknya dapat digunakan untuk menambal defisit BPJS Kesehatan. Sungguh sebuah keadaan yang menyakitkan bagi para perokok.

Tapi, sebagai perokok kita tidak boleh menggerutu. Berbanggalah kalian karena sudah berkontribusi bagi negara dan keberlangsungannya. Selain itu, tanpa disadari, aktivitas ngudud kita juga berguna untuk kemanusiaan. Dengan merokok kita menjadi penyelamat ekonomi dan kesehatan bangsa.

Biar saja mereka bilang kalau merokok sama dengan membakar uang. Biar saja mereka bilang kalau rokok mengancam kesehatan banyak orang. Biar. Biar mereka bicara. Biarkan saja. Kita cukup bertindak konkrit; menyelamatkan bangsa. Pemerintahan Joko Widodo berhutang budi pada perokok dan semua stakeholder IHT-kretek.

Jadi, terimakasih perokok!

The post Perokok Dinista, Perokok Penyelamat Bangsa appeared first on Komunitas Kretek.

Sudah Tepatkah Penggunaan Dana Rokok Untuk Menambal Defisit BPJS?

0
0

Dikeluarkannya peraturan presiden tentang penggunaan dana pajak rokok untuk menutup defisit Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) menimbulkan pro kontra. Ada yang menganggap hal ini sebagai sebuah bukti betapa perokok (dan rokok tentu saja) memiliki peran besar pada bangsa dan negara. Ada juga yang mengecam dan mewanti-wanti agar hal ini tidak digunakan sebagai kepentingan industri rokok (padahal yang berkepentingan ya pemerintah).

Sekadar info ya, uang rokok dipakai menambal defisit BPJS itu cerita lama. Tahun lalu sudah dilakukan. Malah kementerian keuangan mengeluarkan PMK 222 tahun 2017 yang mengatur alokasi MINIMAL 50% Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) di masing-masing daerah untuk kepentingan Jaminan Kesehatan Nasional. Apakah itu salah, tentu tidak, jika berdasar hukum yang baru saja dibuat itu.

Masalah yang kemudian muncul adalah, bagaimana dengan nasib ‘pos’ lain pada pengalokasian DBHCHT?

Selain aturan tadi muncul, pengalokasian DBHCHT di setiap daerah menyasar pada 5 hal. Pertama untuk beberapa persoalan seperti peningkatan kualitas bahan baku (tembakau dan cengkeh sebagai baham baku kretek), pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi aturan soal cukai, dan pemberantasan rokok ilegal. Pada poin pembinaan lingkungan sosial, DBHCHT diperbolehkan memberi ‘santunan’ pada urusan kesehatan.

Sialnya, yang diberikan pada pos ini sudah bukan lagi santunan melainkan pengakuisisian. Sumbangsih terbesar DBHCHT diberikan pada pos ini. Sementara nasib petani dan industri amat kurang diperhatikan. Palingan, cuma pemberian pupuk yang alakadarnya. Itu pun diklaim sebagai ‘bantuan bupati’. Begitu sih kata para petani.

Kami yang perokok ini tentu bangga dengan senang-senang saja jika uang kami yang dibayarkan dalam bentuk cukai dan pajak rokok itu digunakan untuk urusan kesehatan. Dialokasikan untuk hal yang berguna bagi masyarakat. Tapi tentu saja, uang yang dialokasikan untuk hal itu baiknya tidak menggunakan DBHCHT dan pajak rokok yang merupakan hak setiap daerah.

Upaya menutup defisit BPJS akan lebih baik jika menggunakan Dana Cukai yang dimiliki pemerintah pusat. Tinggal kemudian pemerintah memberi subsidi pada BPJS Kesehatan. Uang Rp 5 triliun itu tidak seberapa dengan pemasukan cukai yang mencapai Rp 149,5 triliun. Tapi, akan amat berpengaruh pada DBHCHT yang cuma sekitar Rp 3 Triliun (2% dari total penerimaan cukai) dan harus dibagi ke banyak daerah. Pun dengan pajak rokok yang hanya sekitar Rp 15 Triliun dan tersebar di banyak daerah.

Karena jelas, pemerintah daerah memiliki kepentingan yang cukup besar pada DBHCHT dan Pajak Rokok terkait program dan pembangunan daerah. Juga dengan para petani dan pelaku industri yang memiliki hak terhadapnya. Karena itu, di tengah hingar-bingar soal ini, saya lebih memilih untuk menolak penggunaan pajak rokok dalam menutup defisit BPJS. Kalau memang ingin menggunakan ‘uang rokok’, ya pakai saja dana cukai yang menjadi jatah pemerintah pusat.

The post Sudah Tepatkah Penggunaan Dana Rokok Untuk Menambal Defisit BPJS? appeared first on Komunitas Kretek.

Kontroversi Logika Anti Rokok Menyoal Sumbangsih Perokok Pada BPJS Kesehatan

0
0

Bicara soal rokok adalah bicara kontroversi. Produk olahan tembakau ini kerap menuai kecaman dan stigma buruk namun terlalu sayang untuk ditinggalkan. Betapa tidak, sering dikampanyekan sebagai barang yang berbahaya karena dapat membunuh, rokok tetap beredar dan dijual secara legal.

Iya, rokok merupakan barang legal yang peredarannya diregulasi secara ketat oleh negara. Legalitas rokok dibuktikan dengan pita cukai yang melilit di bungkusnya. Pungutan cukai dari setiap batang rokok yang dijual merupakan keuntungan negara yang, dari tahun ke tahun, merupakan penyumbang cukai tertinggi. Tahun lalu, rokok ‘menyumbang’ 149 triliun rupiah untuk APBN.

Dari beberapa kontribusi rokok (dan perokok, tentunya) bagi negara, konsumen rokok tetap diperlakukan layaknya anak tiri. Ini juga kontroversi. Untuk mengonsumsi barang legal saja kita sudah terbatas ruang. Regulasi Kawasan Tanpa Rokok sudah diberlakukan di berbagai daerah. Meski undang-undang mengamanatkan ketersediaan ruang merokok, masih ada beberapa daerah yang tak amanah.

Itu baru soal ruang. Soal alokasi dana rokok yang diterima negara juga merupakan kontroversi yang pelik. Tahun lalu lahir Peraturan Menteri Keuangan nomor 222 tahun 2017 yang mengatur alokasi minimal 50% Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) di masing-masing daerah untuk penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sekali lagi, minimal 50%.

Padahal, alokasi DBHCHT di tiap daerah harus menyasar pada persoalan lain yang berkenaan langsung dengan komoditas tembakau (dan cengkeh sebagai bahan baku kretek). Peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi aturan soal cukai, dan pemberantasan rokok ilegal dipastikan hanya akan mendapat alokasi DBHCHT sebesar 50% atau kurang. Ya, 5 poin tersebut hanya menunggu sisa anggaran setelah dialokasikan ke JKN dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai lembaga penyelenggara.

Meski selalu tak diuntungkan dan penuh kontroversi, semua stakeholder tembakau tetap setia pada proses pembangunan ekonomi negara melalui kretek. Maka, sudah sepatutnya para perokok bangga karena telah turut berkontribusi, terutama pada agenda penyelamatan BPJS Kesehatan.

Sialnya, bahkan rasa bangga pun tak luput dari nyinyir kelompok anti rokok. Ketua Indonesian Health Economic Association (InaHea) Hasbullah Thabrany mengatakan, fenomena tersebut (perokok bangga) merupakan sebuah kesalahpahaman. Baginya, cukai dan berbagai pungutan dari rokok adalah denda atas pelanggaran para perokok karena telah merokok.

“Saya kira itu salah paham bahwa uang yang dipakai itu bukan sumbangan perokok, itu denda atas pelanggaran orang-orang berperilaku buruk dan merugikan dirinya juga merusak lingkungan,” kata Hasbullah kepada Kompas.com, Jumat (21/9/2018) siang.

Menurut Hasbullah, pungutan cukai rokok itu tak ubahnya denda tilang kepolisian pada pelanggar lalu lintas. Uang hasil tilang kemudian dikumpulkan dan dipergunakan untuk berbagai keperluan lain seperti pembangunan infrastrukstur, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Termasuk soal defisit anggaran BPJS Kesehatan yang ditambal dengan pajak rokok, baginya merupakan alokasi denda-denda tersebut.

Ini yang aneh; cukai dan pajak rokok disamakan dengan denda tilang kepolisian. Mungkin baginya mengonsumsi barang yang legal adalah pelanggaran. Mungkin baginya merokok sama dengan bersepeda santai di jalan tol yang jelas-jelas berbahaya dan dilarang. Mungkin baginya merokok sama dengan naik motor tanpa pelindung kepala dan melawan arus sambil kebut-kebutan di jalan raya. Mungkin baginya merokok sama dengan berhenti saat lampu hijau menyala dan melaju saat lampu merah menyala. Mungkin baginya… ah, sudahlah.

Kalau memang kebanggaan perokok atas sumbangsihnya pada BPJS Kesehatan adalah suatu kesalahpahaman, setidaknya kita tetap masih bisa berbangga diri karena tak cacat logika. Tabik.

The post Kontroversi Logika Anti Rokok Menyoal Sumbangsih Perokok Pada BPJS Kesehatan appeared first on Komunitas Kretek.

Ekspresi Perokok Terkait Pengunaan DBHCHT Untuk Menalangi Defisit BPJS Kesehatan

0
0

Pasca ditandatanganinya Peraturan Presiden terkait cukai rokok untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan, beragam ekspresi tersampaikan melalui media sosial. Ekspresi tersebut umumnya diungkapkan oleh para perokok. Salah satu yang viral adalah tanggapan Sudjiwo Tedjo, salah seorang budayawan yang menanggapi soal pemanfaatan cukai rokok dari daerah untuk menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan.

Hal itu diungkapkan melalui akun Twitter-nya @sudjiwotedjo pada Rabu, (19/9/2018). Sudjiwo Tedjo mengungkapkan terima kasih kepada Presiden Joko Widodo karena telah menandatangani Perpres cukai rokok demi mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan. Selain itu, Ia juga mengungkapkan kaum perokok yang menurutnya nasibnya malang.

Hal itu lantaran menurutnya, ruang yang disediakan untuk merokok sempit. “Terima kasih Pak Jokowi ud teken Perpres Pajak Rokok buat nalangi BPJS kesehatan, walau nasib kami kaum perokok makin mirip binatang dari kumpulan yang terbuang: Ruang smoking sempit tak seluas/semanusiawi ruang non smoking. Kereta api gak ada smoking areanya dll.”

Lebih lanjut Sudjiwo Tedjo juga menganggap pahlawan tanpa tanda jasa sekarang adalah perokok bukan seorang guru. Karena menurutnya, guru sekarang sudah menerima sertifikasi. Sudjiwo Tedjo menyebut meski perokok menyumbang pajak, para perokok tidak meminta sertifikasi. “Sekarang satu2nya Pahlawan Tanpa Tanda Jasa adalah PEROKOK. Guru yg dulu pahlawan tanpa tanda jasa kini sudah dipamrihi tanda sertifikasi guru. Mana sertifikasi perokok yg cukainya aja nyumbang Rp 150an T per tahun? Kami ikhlas… kami ridlo.. kami legowo.”

Senada dengan Sudjiwo Tedjo, seorang movie maker Darwin Nugraha mengistilahkan sumbangsih yang dilakukan oleh perokok santun itu sebagai “sedekah harian”. Tidaklah keliru tentunya istilah tersebut dilungkapkannya. Sebab faktanya perokok setiap hari tak pernah ada yang protes terkait dimanfaatkan untuk apa selama ini dana cukai oleh pemerintah. Bagusnya lagi jika itu memang sesuai asas peruntukkannya.

Sementara dari sudut pandang kalangan yang paham akan persoalan tersebut justru lebih bersikap kritis atas penggunaan DBHCT yang dipakai untuk menambal defisit keuangan BPJS. Para perokok tentu bangga dan jelas senang saja jika uang yang dibayarkan dalam bentuk cukai dan pajak rokok digunakan untuk urusan kesehatan. Karena jelas berguna bagi masyarakat. Tetapi tentunya uang yang dialokasikan untuk hal itu baiknya tidak menggunakan DBHCHT dan pajak rokok yang merupakan hak setiap daerah.

Namun justru akan lebih baik lagi untuk menambal defisit BPJS kesehatan jika menggunakan Dana Cukai yang dimiliki pemerintah pusat. Tinggal perkara teknis mensubsidi kekurangannya saja yang pula harus bisa disiasati. Karena biar bagaimanapun pemerintah daerah memiliki kepentingan yang cukup besar pada DBHCHT dan Pajak Rokok terkait program dan pembangunan daerah.

Terlebih halnya untuk kepentingan para petani dan pelaku industri yang memiliki hak terhadapnya. Karena itu, siasat yang dilakukan pemerintah dalam menyelematkan BPJS kesehatan tentulah sebuah upaya yang baik. Apalagi selama ini rokok kerap kali distigma buruk bahkan dimusuhi oleh kalangan pembenci rokok. Namun akan jauh lebih baik bilamana pemerintah lebih mengutamakan penggunaan ‘uang rokok’ atau DBHCHT ini sesuai asas peruntukkannya. Yakni kembali kepada pengembangan di sektor hulu industri.

The post Ekspresi Perokok Terkait Pengunaan DBHCHT Untuk Menalangi Defisit BPJS Kesehatan appeared first on Komunitas Kretek.

Inilah Alasan Mengapa Kemenkes Menolak CPNS Perokok

0
0

Diskriminasi pada perokok terus berlanjut. Setelah sempat terancam dicoret dari daftar mustahik penerima zakat, kini perokok dilarang melayani negara. Melayani negara yang saya maksud adalah menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Salah satu lembaga negara tingkat Kementerian tegas menolak calon pegawai yang merokok.

Adalah Kementerian Kesehatan yang memberlakukan syarat tidak merokok bagi siapapun warga negara yang ingin mendaftar ikut seleksi CPNS. Alih-alih membuka kesempatan bagi seluruh anak bangsa, persyaratan yang disusun justru jelas-jelas diskriminatif bagi satu kelompok; perokok.

“Tidak merokok,” begitu bunyi persyaratan CPNS Kemenkes 2018 pada poin nomor 11.

Dilansir dari Liputan6.com, dr. Untung Suseno Sutarjo, Ketua Tim Pengadaan CPNS Kemenkes 2018, menyimpulkan bahwa aktivitas merokok bukanlah contoh baik dari seorang petugas kesehatan.

“Orang kesehatan harus dapat memberikan contoh hidup sehat,” katanya. Beliau jelas berkesimpulan bahwa perokok sudah pasti menjalani pola hidup yang tidak sehat.

Mari kita tilik sedikit tentang pola hidup sehat seperti apa yang beliau maksud.

Pria yang juga menjabat Sekretaris Jenderal Kemenkes ini menyebut bahwa para perokok akan kesulitan bekerja di Kemenkes. Hal tersebut, menurutnya, dikarenakan seluruh kantor dan fasilitas di lingkungan Kemenkes adalah kawasan yang bebas rokok.

Kasihan benar jadi perokok, alasan yang diajukan untuk menolak mereka bahkan terkesan merendahkan kapasitasnya. Apa korelasi kawasan bebas rokok dengan kinerja? Mungkin, menurut Kemenkes, perokok hanya bisa bekerja sambil klepas-klepus ngudud di depan komputer, sehingga larangan merokok secara mutlak akan mempersulit para perokok untuk bekerja. Sebodoh itukah perokok di mata mereka?

Saya perokok. Saya juga tahu dimana saya bisa menyalakan rokok serta dimana saya harus enggan dan mengurungkan niat nyebats. Selain itu, saya juga tahu dosis konsumsi rokok saya. Saya tidak akan kejang-kejang gemetaran saat sedang tidak merokok. Saya rasa hampir semua perokok pun demikian.

Lebih dari pada itu, saya pun sadar akan pola hidup sehat. Saya masih suka berolah raga, menjaga pola makan seimbang dan rajin makan buah. Jadi, perokok seperti apa yang dimaksud Kemenkes tidak memberi contoh pola hidup sehat? Bagi saya, alasan menolak perokok karena stigma negatif yang mereka tanam sendiri adalah manifestasi nyata sikap diskriminatif rezim kesehatan.

Sebenarnya, syarat tidak merokok bagi CPNS Kemenkes bukanlah hal yang baru. Tahun lalu, Kemenkes juga memasukkan poin persyaratan yang sama. Ketika ditanya bagaimana cara membuktikan seseorang adalah perokok atau bukan, mereka hanya mengajukan surat pernyataan (tidak merokok) tertulis untuk setiap pendaftar. Sungguh bukan sebuah formula yang efektif untuk melakukan verifikasi.

Absurditas argumentasi dan formula yang disiapkan Kemenkes, bagi saya, justru menunjukkan bahwa persyaratan kontroversial tersebut hanya bagian dari upaya Kemenkes menjaga citra buruk rokok; bahwa segala hal yang berkaitan dengan kesehatan harus selalu memusuhi rokok. Kira-kira begitu.

Eh, kalau begitu BPJS Kesehatan juga harus memusuhi rokok, dong? Aah, apa hak anda menanyakan hal itu???

The post Inilah Alasan Mengapa Kemenkes Menolak CPNS Perokok appeared first on Komunitas Kretek.


Dzolimnya Pikiran A’a Gym Jika Bicara Soal Rokok

0
0

Merokok adalah hak setiap orang. Pun dengan orang yang tidak merokok, itu adalah hak. Tambahan bagi yang tidak merokok, hak mereka pula untuk tidak terganggu paparan asap rokok. Ini adalah perkara mendasar terkait hak dan rokok.

Karenanya, saya sepakat dengan pemikiran bahwa mengganggu kenyamanan orang lain lewat paparan asap rokok adalah perbuatan dzolim. Termasuk dengan jalan pikir A’a Gym yang berpendapat seperti ini. Saya menyepakatinya.

Tetapi, tidak bisa kemudian pandangan ini dibawa ke arah: merokok adalah perbuatan dzolim pada diri sendiri. Itu dua konteks yang berbeda. Bahwa tidak mau terganggu paparan asap rokok adalah hak, pun dengan pilihan merokok yang merupakan hak. Maka urusan merokok tidak bisa kita sebut sebagai perbuatan dzolim pada diri sendiri.

Mungkin A’a Gym bisa berpendapat seperti anti rokok karena termakan bujuk rayu kampanye negatif terhadap tembakau. Katanya, rokok itu terbukti mengandung racun. Iya, jika nikotin yang kita makan di terong atau kentang itu dikategorikan sebagai racun. Apabila itu dasarnya, apakah memakan terong dan kentang akan dikategorikan sebagai kegiatan mendzolimi diri sendiri? Saya kira A’a Gym tidak akan berani.

Bahwa rokok adalah barang konsumsi yang memiliki faktor risiko terhadap penyakit, itu memang benar. Tapi tidak bisa jika kemudian logika yang dibangun adalah rokok menjadi sumber utama segala penyakit. Akal sehat tentu tidak bisa menerima jalan pikir ngawur seperti ini.

Logika semacam ini dibangun melalui doktrin dan vonis dokter tatkala memeriksa penyakit masyarakat. Apapun penyakitnya, jika si pasien merokok, maka rokok adalah penyebab dari penyakit itu. Yang lai-lain, ah itu mah urusan belakangan.

Perlu dipahami bahwa tidak semua penderita kanker itu merokok. Pun yang tidak hidup di lingkungan merokok bisa kena kanker. Mau contohnya, ada satu mantan menteri kesehatan yang terkena kanker paru padahal Ia tak merokok dan tidak mungkin lingkungan kerjanya dipenuhi asap rokok. Lah kerjanya di area kementerian kesehatan dan rumah sakit yang tentu saja merokok adalah perbuatan terlarang. Tapi bisa kena juga kan.

Hal ini menjadi satu penanda bahwa, tidak semua penyakit itu disebabkan oleh rokok dan semua hal turunannya. Banyak juga orang yang merokok dan tetap sehat hingga usia lanjut. Tidak bisa logika-logika hitam dan putih dipakai dalam hal ini.

Maka, jalan pikiran bahwa merokok adalah perbuatan dzolim pada diri sendiri adalah sebuah hal yang dzolim itu sendiri. Sudah dzolim pada orang yang merokok, dzolim pula pada orang-orang yang hidup bersama kretek. Mulai dari petani tembakau, petani cengkeh, para pekerja di ladang, pekerja pabrik rokok, atau pedagang asongan.

Mengingat perbuatan dzolim adalah sesuatu yang tidak dibernarkan oleh agama, tentu saja para perokok harus sadar diri dan tidak lagi merokok sembarangan hingga mengganggu kenyamanan orang lain. Begitu pula dengan si A’a, ada baiknya segera bertaubat dan menjauhkan dirinya dari pikiran dzolim semacam tadi. Astaghfirullah, A, jauh-jauh deh dari jalan pikiran dzolim.

The post Dzolimnya Pikiran A’a Gym Jika Bicara Soal Rokok appeared first on Komunitas Kretek.

Batik Tembakau Jember yang Mendunia

0
0

Tembakau merupakan tanaman yang bermanfaat bagimasyarakat Indonesia. Mulai dari segi kesehatan, tembakau juga memberikan penghasilan baik bagi masyarakat dan negara. Pasalnya tanaman ini memberi penghidupan kepada jutaan petani, jutaan buruh, dan jutaan pedagang. Belum lagi cukai yang diberikan dari industri hasil tembakau kepada negara sangatlah besar mencapai kurang lebih 142 triliun pertahunnya. Defisit dana BPJS juga ditanggulangi oleh cukai rokok. Memang komoditas tembakau merupakan yang terbesar bagi Indonesia.

Di kabupaten Jember provinsi Jawa Timur, tembakau juga menjadi tanaman yang sangat banyak memberi penghidupan. Kabupaten Jember ini salah satupenghasil tembakau terbesar dan terbaik. Kabupaten Jember ini tidak akan terlepas dari bau tanaman tembakau. Gambar atau logo dari kabupaten ini juga menggunakan tembakau yang maknanya melambangkan bahwa Kabupaten Jember selain dikenal sebagai gudang pangan, juga dikenal sebagai daerah penghasil komoditi tembakau yang cukup terkenal danmenghasilkan devisa cukup besar bagi negara disamping komoditi perkebunanlainnya.

Sudah sejak puluhan tahun Jember dikenal sebagai penghasi ltembakau yang paling banyak mengekspor bahan dasar rokok cerutu ke Bremen, Jerman. Jember juga dikenal dunia bukan sematamata karenatembakau maupun kopinya, tapi jugabudaya dan pariwisatanya. Salah satu yang fenomenal adalah gelaran tahunan Jember Fashion Carnaval (JFC). Biasanya semua hasil karya batik turun di acara ini untuk mengenalkan hasil karya dari jember sendiri.

Selain terkenal dengan tempat obyek wisata, kuliner, budaya atau tembakau maupun kopi dan coklat. Batik Jember kini pun sudah mulai go internasional.Motif batik jember menjadi daya tarik tersendiri karena mengangkat motif dari hasil bumi khas dari tanahny asendiri. Sehingga kain batik produksi Jember pun  didominasi  motif daun tembakau.

Sejak turun temurun motif daun tembakau dari ukuran kecil hingga ukuran besar selalu menjadi salah satu motif andalan bagi perajin batik di Jember. Beragam motif dan corak ditorehkan di kain putih sehingga menghasilkan karya dengan berbagai keunikan. Motif yang disajikan oleh batik Jember sangat  berbeda sekali dengan motif kota lainnya. Jember sekarang menjadi pemasok dan pembuat batik yang banyak diminati oleh masyarakat

Seorang desainer bernama Lia Afif mengangkat batik khas jember ini di Paris Fasion Week. Lia mengeksplorasi batik Jember untuk gaun gala atau pesta bagi muslimah. Sebanyak 20 koleksi Lia ditampilkan di acara Paris Fasion Week yang semuannya memakai bahan batik Jember.Dengan begitu keberadaan batik Jember akan dikena loleh dunia. Semoga batik jember ini bisa terus dikenal kesemua penjuru dunia.

Yang terpenting kita harus menghargai dan merawat tanaman tembakau yang memberikan banyak sekali manfaat bagi masyarakat Indonesia. Mulai dari rasa sampai bentuknya sanga tberguna bagimasyarakat. Komoditas tembakau memang harus kita lestarikan bukan kita munaskan.

 

 

 

The post Batik Tembakau Jember yang Mendunia appeared first on Komunitas Kretek.

Kretek Dalam Sesaji dan Pembagian Ruang pada Pura Hindu Bali

0
0

Kretek sudah menjadi bagian dalam berbagai tradisi di Nusantara sejak dahulu. Tak hanya sebatas hadir sebagai produk yang kita konsumsi, kretek kerap pula hadir sebagai pelengkap sesaji atau banten dalam sebutan umum masyarakat Hindu Bali. Umumnya kretek yang digunakan untuk kebutuhan tersebut dari golongan rokok yang harganya murah meriah.

Oleh karena itu muncul satu candaan bagi sebagian masyarakat Bali yang kalau ada kerabat atau teman sepergaulan menghisap rokok non filter, niscaya dituding menghisap rokok banten (rokok yang dipersembahkan untuk para dewata). Orang yang menghisap kretek non filter dianggap kurang ‘berkelas’, bukan apa-apa sebabnya stereotypes kretek (non filter) adalah rokok sesaji. Bukan rokok ‘yang patut’ dikonsumsi makhluk kasat mata.

Pada tradisi masyarakat Hindu Bali juga dikenal canang paraos, simbol persembahan sehari-hari, seperti yang diterangkan oleh Putu Setiasa, supir taksi yang mengantar kami kala itu ke bandara. Di dashboard kendaraannya terdapat canang dari janur berisi bunga, sepotong biskuit, dan sebatang kretek tanpa merek. Menurutnya dalam waktu kerja dia sendiri bisa dua batang kretek disuguhkannya. “Harganya cuma 2 ribu per bungkus isi 10 batang”, ujarnya.

Hal serupa juga akan dilakukan oleh supir yang kedapatan shift berikutnya. Suguhan pada canang ini memberi kesan tersendiri bagi saya yang selama ini kerap dibanjiri berita buruk tentang rokok dari berbagai media. Yang tak henti menyebutkan bahwa rokok amatlah berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan.

Namun faktanya lain dengan apa yang saya dapatkan di masyarakat Hindu Bali. Rokok justru turut ambil bagian dalam mencukupi sesaji untuk para dewa. Lain itu, di tempat peribadatan atau Pura besar terdapat pembagian ruang yang diisyaratkan sesuai dengan fungsinya. Ada bagian bangunan yang dibolehkan untuk merokok ada yang tidak. Sebagian besar Pura di Bali menggunakan struktur denah Pura Tri Mandala.

Ada yang disebut Utama Mandala atau jeroan, ruang ini adalah bagian terdalam dan tersuci/tersakral dari sebuah Pura. Pada bagian Utama ini, umat harus benar-benar fokus untuk menghadap Sang Hyang Widhi dengan meninggalkan nafsu keduniawiannya. Bagian kedua adalah Madya Mandala atau biasa disebut juga jaba tengah. Biasanya pada areal ini terdiri bangunan Bale Agung (balai panjang), Bale Pagongan (balai tempat gamelan), selain itu juga terdapat Bale Panyimpenan (ruangan tempat penyimpanan barang-barang berharga Pura).

Bagian ketiga Nista Mandala, biasa disebut sebagai jaba pisan. Ini adalah bagian terluar dari arsitektur Pura. Bagian ini adalah bagian Nista atau kotor dan tidak sakral dari sebuah Pura. Setiap orang dapat memasuki areal ini. Bangunan yang terdapat pada mandala ini di antaranya Bale Kulkul, sebagai tempat kentongan digantung, terdapat pula Bale Wantilan yaitu balai tempat pementasan kesenian yang diadakan di dalam Pura.

Di Bale Wantilan itulah tempat yang umumnya diperbolehkan untuk merokok. Selain itu ada juga Bale Pawaregan, yaitu bangunan yang digunakan sebagai dapur tempat sesaji dibuat. Kemudian ada juga Lumbung, yaitu bangunan yang digunakan sebagai tempat menyimpan beras.

Dari gambaran arsitektur Pura dan pembagian ruangnya ini terbilang cukup mengakomodir kebutuhan umat. Tata laku pemaknaan fungsi ruang telah disepakati jauh sebelum isu rokok dibingkai negatif oleh media. Perkara rokok yang menjadi bagian dari sesaji ini tak hanya terjadi di masayarakat Hindu Bali, pula masih berlaku hampir di semua daerah di Nusantara. Ini artinya, rokok maupun kretek yang merupakan komoditas asli bangsa kita telah memberi sumbangsih penting dalam kebudayaan dan peradaban negeri ini.

The post Kretek Dalam Sesaji dan Pembagian Ruang pada Pura Hindu Bali appeared first on Komunitas Kretek.

Pelarangan Memajang Rokok di Kota Depok, Diskriminasi yang Mengulang Kekonyolan

0
0

Diskriminasi terhadap produk legal yang kita kenal sebagai rokok masih saja terjadi. Salah satunya terkait pelarangan mengiklankan rokok serta pelarangan memajang  rokok secara terbuka, modus yang terdahulu pernah diberlakukan di Kota Bogor. Iya tak mau kalah dengan Kota Bogor, hal serupa diterapkan pula di Kota Depok dengan dalih yang sama.

Sejumlah ritel yang memajang rokok dengan terpaksa raknya harus ditutupi tirai. Dalihnya agar perokok pemula ataupun anak di bawah umur tidak dapat mengakses produk legal tersebut. Seturut itu penanda yang boleh diterakan pada tirai  hanyalah sekalimat; ‘di sini tersedia rokok’. Upaya ini dipandang tepat lantaran adanya amanah dari Perda KTR yang menerakan ketentuan tersebut.

Celakanya bahkan sampai pada penerapan sanksi bagi pihak yang melanggar ketentuan tersebut. Keberadaan rokok yang berstatus produk legal di sini tidak lagi mendapatkan posisi yang setara dengan produk legal lainnya. Jika dalih yang sama digunakan, mestinya penjualan alat kontrasepsi juga patut diberlakukan serupa. Anak-anak jelas tidak dibenarkan mengakses kondom ataupula produk lain yang berpotensi memicu anak di bawah umur melakukan perbuatan yang hanya boleh dilakukan orang dewasa.

Diskriminasi yang dilakukan Pemkot Depok beserta jajarannya yang dalam kerangka menurunkan angka perokok jelas bukan tidak menimbulkan masalah. Masalah pertama, secara nyata akan berdampak terhadap pendapatan daerah dari pajak iklan dan penjualan rokok. Masalah kedua, penerapan peraturan itu membuktikan adanya diskriminasi dan ketidakbecusan orang tua dalam mengedukasi anak. Karena untuk urusan mencegah anak di bawah umur merokok, katakuncinya ada di edukasi. Orang tua memiliki otoritas penuh untuk menjelaskan bahwa rokok hanya boleh dikonsumsi orang dewasa dengan segenap tanggung jawab. Edukasi ini penting agar tidak terjadi bentuk penyimpangan yang dilakukan anak. Membeli dan menghisap rokok secara sembunyi-sembunyi.

Lebih jauh peraturan yang akan menyasar pula penerapannya ke warung-warung rokok pinggir jalan dan pasar tradisional di Depok sama halnya dengan membunuh secara pelan sumber pendapatan pedagang. Jika memang demikian, Pemkot Depok sama halnya telah menghambat tumbuh kembang ekonomi serta kesejahteraan masyarakatnya.

Jika peraturan itu diterapkan di area pendidikan ataupun rumah sakit masihlah kita bersepakat. Alangkah baiknya lagi jika diatur batas jarak keterjangkauannya dari tempat-tempat yang tercantum dalam poin Kawasan Tanpa Rokok. Bukan dengan serta merta membuang keberadaan rokok dan warungnya.

Keberadaan rokok di Indonesia tentu kita tahu sendiri, yang oleh masyarakat pembencinya kerap distigma negatif, sementara dari cukainya yang triliunan rupiah mampu menjadi ‘obat kuat’ bagi persoalan defisit BPJS. Perda KTR yang diterapkan di berbagai daerah selama ini justru ambivalen dengan kenyataan bahwa sumbangsih dari sektor rokok memberi manfaat besar bagi masyarakat.

Biar bagaimanapun rokok adalah barang legal, tidak semestinya diberlakukan seperti itu. Sebagai produk legal, posisi rokok sudah semestinya setara dengan produk konsumsi lainnya. Jangan karena ketidakbecusan pemerintah maupun orang tua dalam mengedukasi anak,  lantas saja rokok dan iklannya yang disalahkan diatur-atur demikian absurd.

The post Pelarangan Memajang Rokok di Kota Depok, Diskriminasi yang Mengulang Kekonyolan appeared first on Komunitas Kretek.

Ruang Merokok di Gerbong Kereta, Mungkinkah?

0
0

Kereta api menjadi salah satu moda transportasi umum yang paling diminati masyarakat. Baik untuk perjalanan jarak jauh, maupun yang berbentuk commuter dalam area perkotaan. Semuanya menjadi angkutan yang diandalkan masyarakat untuk bepergian.

Karena itu, tatkala ada bahasan terkait penyediaan ruang merokok di gerbong kereta, para perokok begitu aktif menyuarakan kepentingannya. Mengingat dalam perjalanan kereta jarak jauh, kebutuhan merokok tentu menjadi hal yang amat penting bagi para perokok. Tentu saja menempuh perjalanan dalam kisaran 10 jam, mulut asam menjadi hal yang lekat dengan perokok.

Sebenarnya, sebelum PT KAI berbenah, masyarakat masih diperbolehkan merokok di area yang menghubungkan antar gerbong. Tapi kemudian, aturan KTR dibuat dan merokok menjadi hal yang dilarang di kereta api. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah bagi semua perokok tatkala bepergian jarak jauh dengan kereta.

Jika kita mau melihat lebih jernih, aturan yang dibuat ini memang menjadi hal yang bisa diwajarkan. Mengingat kereta api merupakan area publik yang bisa saja membuat orang lain terganggu kenyamanannya akibat asap rokok. Meski begitu, sebagaimana area publik lainnya, kereta api (jarak jauh) harusnya menyediakan ruang merokok buat pelanggannya.

Hal inilah yang kemudian disuarakan oleh Sudjiwo Tedjo yang dikenal sebagai seniman merangkap pejuang hak asasi perokok. Dalam pernyataannya di media sosial Twitter, menggunakan akun @Sudjiwotedjo, Ia mendorong ketersediaan ruang merokok di kereta api agar memenuhi hak para perokok. Katanya, mau kereta diperbagus seperti apapun, tanpa adanya ruang merokok tetap saja kurang asik.

Pernyataan inilah yang kemudian membangkitkan lagi pembahasan terkait penyediaan ruang merokok di gerbong kereta. Para perokok tentu saja mendukung Presiden Jancukers itu. Meski biasanya hal semacam ini tidak bakal ditanggapi oleh PT KAI. Padahal, penyediaan ruang merokok di kereta merupakan hal yang penting mengingat masih ada beberapa kasus orang merokok di kereta.

Kalau pemerintah dan PT KAI membutuhkan contoh, cobalah melihat apa yang dilakukan pemerintah Jepang. Mereka memiliki peraturan tegas yang tidak mendiskriminasi masyarakatnya yang merokok. Jepang memang tegas mengatur keberadaan ruang merokok di ruang publik. Termasuk di kereta api jarak jauh.

Untuk meniadakan kasus-kasus seperti di atas, dan menghindari gangguan terhadap pengguna kereta api, pemerintah Jepang menyediakan ruang merokok gerbong khusus untuk merokok dalam kereta cepat jarak jauh. Di kereta shinkansen yang terkenal itu loh.

Coba bayangkan, seandainya PT KAI berniat mencontoh hal baik yang dilakukan Jepang ini, tentu saja tidak bakal adalagi pengguna kereta api dan masyarakat Indonesia yang terampas haknya karena aturan KTR. Mungkin saja penyediaan satu gerbong khusus dalam setiap perjalanan kereta api dilakukan. Toh ada begitu banyak pelanggan kereta api yang merokok. Apa perlu, mereka dimobilisasi untuk melakukan tuntutan dan demonstrasi ke KAI dulu baru gerbong tersebut mau disediakan?

The post Ruang Merokok di Gerbong Kereta, Mungkinkah? appeared first on Komunitas Kretek.

Viewing all 2271 articles
Browse latest View live